Tak kalah penting adalah pembaruan model bisnis zakat. Program yang sekadar menyalurkan bantuan sudah tak relevan dengan kebutuhan mustahik hari ini. Mereka memerlukan ekosistem usaha yang terintegrasi. LAZIS harus mulai membentuk koperasi syariah, mengembangkan saham digital wakaf, membina startup berbasis hasil zakat, dan menyediakan platform crowdfunding syariah. Inovasi ini membuka peluang publik berinvestasi sosial secara amanah dan transparan.
Agar semua itu terukur dan berkelanjutan, diperlukan sistem informasi yang andal. Tanpa manajemen data yang kuat, mustahil memastikan siapa mustahik yang aktif, mana program yang efektif, dan bagaimana mengembangkan potensi muzakki baru. LAZIS perlu membangun sistem CRM ZIS—Customer Relationship Management yang khusus untuk zakat, infak, dan sedekah. Sistem ini mencakup data profil mustahik, laporan usaha, dan umpan balik muzakki, semua terintegrasi dalam dashboard publik yang transparan dan mudah diakses. Inilah fondasi digital untuk membangun kepercayaan dan partisipasi yang lebih luas.
Dari Bantuan ke Kemandirian, Dari Laporan ke Perubahan
Kini saatnya LAZIS melangkah lebih berani, bukan untuk mengambil risiko tanpa arah, tetapi untuk menapaki jalan baru yang lebih berdampak dan bermartabat. Era pasif telah usai. Profesionalisasi SDM harus menjadi langkah awal dengan merekrut tenaga ahli di bidang ekonomi syariah, pengembangan UMKM, hingga pemberdayaan komunitas akar rumput. Adakan pelatihan internal berbasis best practice zakat produktif, susun SOP bersama Dewan Syariah, dan bangun program berbasis komunitas dengan skema modal bergulir yang bebas riba, adil, dan memberdayakan.
Transformasi digital bukan lagi pilihan. Laporan keuangan, audit dampak, sistem penyaluran, hingga portal investasi wakaf harus tersedia dalam satu ekosistem digital yang ramah pengguna, transparan, dan terintegrasi. Dengan begitu, zakat dan wakaf tidak lagi diam dalam catatan, tapi bergerak menjadi aset hidup yang terus tumbuh dan bermanfaat lintas generasi.
Zakat dan wakaf tidak kehilangan maknanya ketika dikelola dengan visi dan inovasi. Justru di titik inilah keduanya menemukan jati dirinya sebagai instrumen perubahan peradaban. Sebab pengelolaan amal bukan semata soal dana, tetapi soal kepercayaan, keberpihakan, dan keberanian menegakkan keadilan sosial dalam bingkai syariah.
Rasulullah telah menyalakan obor itu dengan masjid sebagai pusat peradaban. Para khalifah dan ulama menjaga cahayanya dengan ilmu dan keteladanan. Kini, giliran kita. Menjadi pengelola yang jujur, kreatif, dan visioner yang menjadikan setiap zakat dan wakaf sebagai pijakan untuk membangun masa depan umat lebih mandiri, lebih berdaya, dan lebih mulia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI