Masjid sebagai Pusat Spiritualitas dan Solusi Sosial
Masjid sebagai rumah spiritual sekaligus pusat pemberdayaan. Sejak zaman Rasulullah, masjid adalah pusat segala urusan umat. Di Masjid Nabawi, Nabi memimpin shalat, mengajar ilmu, merancang strategi dakwah, hingga mengelola logistik dan bantuan sosial. Fungsi ini didukung oleh pengelolaan dana umat yang amanah dan aktif. Dana yang terkumpul tidak disimpan tanpa arah, tetapi digunakan untuk kebutuhan nyata umat. Sebagaimana dalam Al-Qur’an:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, pengurus zakat, muallaf, untuk memerdekakan budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang dalam perjalanan". (QS. At-Taubah: 60)
Rasulullah juga bersabda: "Barang siapa membangun masjid karena Allah, maka Allah bangunkan untuknya rumah di surga". (HR. Muslim no. 533)
Namun membangun masjid bukan sekadar membangun fisiknya. Yang paling penting adalah menghidupkan fungsinya bagi umat.
Saldo Tinggi, Tapi Umat Masih Susah?
Tak sedikit pengurus masjid merasa bangga ketika kas masjid mencapai angka yang cukup besar. Saldo ratusan juta terasa seperti prestasi. Namun pertanyaannya: apakah dana itu sudah memberikan dampak bagi masyarakat sekitar?
Di sisi lain, terdapat jamaah yang kesulitan biaya sekolah anaknya, ataupun kehilangan pekerjaan. Dana kas yang besar, namun hanya disimpan tanpa rencana pemanfaatan sosial, justru kehilangan nilainya seiring waktu.
Rasulullah mengajarkan agar harta umat tidak dibiarkan mengendap. Dalam peristiwa Tabuk, beliau bahkan menggerakkan para sahabat untuk menyumbang habis-habisan demi kepentingan bersama. Uang yang tidak digerakkan adalah amanah yang tertunda manfaatnya.
Bahaya Dana Mengendap: Inflasi Menggerus Nilai Manfaat
Kas masjid bukanlah tabungan mati yang hanya dibanggakan dalam laporan. Ia adalah amanah umat, yang harus dikelola secara produktif, transparan, dan berpihak pada kemaslahatan. Namun, realitanya, masih banyak masjid yang menyimpan dana besar tapi miskin dampak. Dana kas mengendap, padahal kebutuhan umat terus bergerak.
Padahal, inflasi tidak menunggu. Uang yang diam nilainya terus menyusut. Misalnya, jika hari ini kas masjid menyimpan Rp500 juta, tapi tidak digunakan sama sekali, dan inflasi rata-rata 5% per tahun, maka lima tahun ke depan nilai riilnya hanya sekitar Rp390 juta. Artinya, ada potensi manfaat sebesar Rp110 juta yang menguap tanpa bekas. Ini belum menghitung berapa banyak peluang amal yang tertunda. Dalam skema ukhrawi, bisa jadi, ini juga berarti pahala para muhsinin yang ikut terkikis nilainya karena tidak segera dimanfaatkan menjadi manfaat nyata.
Kas yang tak bergerak adalah peluang yang hilang. Maka, ia harus diputar, dipakai untuk menghidupkan umat—membiayai program pendidikan, menyalurkan bantuan sosial, mencetak wirausahawan muda, hingga menjadi sumber penguatan ekonomi umat. Inilah fungsi sosial kas masjid yang sejak zaman Rasulullah telah dicontohkan. Masjid bukan hanya pusat ibadah, tetapi pusat peradaban, tempat perencanaan dakwah, penyaluran zakat, dan pemberdayaan komunitas.
Bolehkah Dana Kas Masjid Digunakan untuk Program Sosial?
Pertanyaan ini sering muncul di kalangan DKM. Hal ini seharusnya diperbolehkan, selama sesuai dengan prinsip syariah dan dilakukan secara transparan.
Para ulama seperti Imam Malik menyebut bahwa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menggunakan dana kas umat (Baitul Mal) untuk membantu kebutuhan masyarakat luas. Artinya, kas masjid dapat digunakan untuk: