Pada awal Agustus 2025, tepat menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia, ruang publik Indonesia diramaikan oleh sebuah fenomena yang tak lazim: yang seharusnya pada bulan tersebut ramai mengibarkan sang merah putih malah mengibarkan bendera bajak laut dari serial anime One Piece. Bendera hitam dengan tengkorak bertopi jerami itu—yang dikenal sebagai Jolly Roger milik kru Topi Jerami pimpinan Monkey D. Luffy—berkibar di rumah-rumah, kendaraan, hingga media sosial. Fenomena ini memantik kontroversi dan respons keras dari aparat, namun jauh lebih dalam dari sekadar ulah fandom atau aksi iseng musiman.
Dari Candaan ke Simbol Perlawanan
Asal usulnya tak lepas dari percakapan di platform X (dulu Twitter) pada akhir Juli 2025. Dimulai sebagai candaan: seseorang menyebut akan mengibarkan bendera Belanda sebagai sindiran atas “matinya pemerintahan”, lalu disusul wacana memasang bendera Jepang. Tak lama kemudian, muncul ide memasang bendera One Piece—yang dengan cepat ditangkap sebagai simbol protes yang lebih halus, imajinatif, dan tak langsung menyinggung simbol negara.
Seiring berjalannya waktu, candaan ini berevolusi menjadi ekspresi kolektif. Pengibaran bendera One Piece mulai dimaknai sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan negara yang akhir-akhir ini dianggap tidak berpihak kepada rakyat, seperti pembekuan rekening, penyitaan tanah, dan sulitnya lapangan kerja, dll. Media sosial dibanjiri unggahan bertema One Piece. Dalam satu pekan, tercatat lebih dari 15 ribu unggahan dan miliaran interaksi.
Simbolisme Pop Kultur yang Tidak Sederhana
Penggunaan simbol fiksi dalam ruang politik bukan hal baru, tapi pemilihan bendera Topi Jerami memiliki makna khas. Dalam narasi One Piece, bendera itu melambangkan kebebasan, keberanian melawan otoritas tirani, dan kesetiaan pada nilai-nilai persahabatan. Monkey D. Luffy bukan hanya bajak laut, ia adalah personifikasi perlawanan terhadap ketidakadilan.
Tak heran jika bagi sebagian anak muda Indonesia, bendera ini lebih merepresentasikan harapan daripada bendera negara yang terasa jauh dan steril. Mereka menyebutnya sebagai "simbol kebebasan sipil", bukan anti-negara.
Negara Merasa Terancam, Padahal Rakyat Sedang Bicara
Respon negara tak kalah keras. Menteri HAM menyebutnya sebagai pelanggaran hukum dan bentuk makar. Kepolisian melakukan razia dan penyitaan di beberapa daerah seperti Banten, Nganjuk, Dll. Menko Polhukam menyatakan akan menindak tegas. Namun, tidak semua pihak pemerintah sepakat: ada pula yang melihat ini sebagai bentuk kreativitas selama tak menggeser makna sakral Merah Putih.
Pakar hukum tata negara seperti Prof. Sunny Ummul Firdaus ((Pakar Hukum Tata Negara UNS) justru mengingatkan agar pemerintah membaca fenomena ini secara kultural, bukan represif. Mengangkat simbol fiksi bukan berarti mengibarkan niat makar. Ini adalah bentuk komunikasi simbolik yang seharusnya dibaca sebagai ekspresi keresahan.
Menyoal Batas Ekspresi dan Makna Simbol Negara
Secara hukum, memang tidak ada larangan eksplisit terhadap pengibaran bendera fiksi selama tidak merendahkan Bendera Merah Putih (UU No. 24 Tahun 2009). Namun aparat tampak menafsirkan ekspresi ini secara kaku dan sepihak.
Pernyataan tegas datang dari Amnesty International Indonesia. Direktur Usman Hamid menyebut tindakan razia, penyitaan, dan ancaman pidana terhadap pengibar bendera bajak laut fiktif ini sebagai reaksi yang berlebihan terhadap kebebasan berekspresi damai. Ia menegaskan pengibaran bendera ini adalah bagian sah dari hak konstitusional dan instrumen HAM internasional, bukan makar.
Di sisi lain, Ketua YLBHI Muhammad Isnur menegaskan bahwa simbol fiksi seperti bendera One Piece merupakan ekspresi kewargaan yang sah dan kreatif. Ia menilai reaksi aparat terlalu represif dan justru mengabaikan pesan kritis yang ingin disampaikan masyarakat.