Mohon tunggu...
Efendi Muhayar
Efendi Muhayar Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki dengan pekerjaan sebagai ASN dan memiliki hobby menulis artikel

S-2, ASN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengapa Preman Ditolak dalam Mengawasi Masyarakat?

15 September 2020   22:30 Diperbarui: 16 September 2020   08:24 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi saling jaga dalam menerapkan protokol kesehatan. (sumber: Shutterstock/Petovarga via kompas.com)

"Rencana polisi yang akan mengunakan para preman dalam menjaga ketertiban masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan mendapat tantangan dari berbagai pihak."

Kebijakan PSBB

Media massa pada Senin, 14 September 2020 mengulas rencana pemerintah yang akan menerjunkan tentara dan polisi untuk membantu pengawasan operasional yustisi selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Ibu Kota. Tujuan dari keterlibatan polisi dan tentara adalah agar masyarakat dapat mentaati protokol kesehatan selama masa pembatasan sosial. 

Dasar keterlibatan tentara dan polisi dalam menjaga efektivitas PSPB ini adalah Inpres No.6 Tahun 2020 dimana tugas polisi adalah membantu penegakkan sanksi yang diatur dalam peraturan setiap daerah. Di Jakarta penegakkan disiplin tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 79 Tahun 2020. 

Aturan ini membuat sejumlah sanksi seperti denda dan kerja sosial bagi individu, hingga sanksi denda administrasi serta pencabutan ijin bagi pelaku usaha yang melanggar protokol kesehatan. Selain itu, dalam pelaksanaan tugasnya, polisi juga akan bermitra dengan sejumlah komunitas untuk mengawasi protokol kesehatan. 

Secara spesifik dikatakan oleh salah satu pejabat tinggi Polri bahwa komunitas yang dimaksud adalah para “jeger’’ atau “premen” di pasar tradisional agar pedagang ataupun pengunjung tertib menggunakan masker.

Rencana polisi yang akan mengunakan para preman dalam menjaga ketertiban masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan mendapat tantangan dari berbagai pihak.

Banyak yang menilai bahwa pelibatan para preman dalam penerapan kebijakan dikhawatirkan akan memunculkan tindakan represif karena para preman bisa saja berbuat sewenang-wenang karena merasa didukung polisi. 

Sebagaimana yang terjadi pada bulan April 2020, lalu aparat pernah melakukan tindakan sewenang-wenang dengan menganiaya seorang warga Labuan Bajo yang berkerumun, padahal pemerintah Manggarai Barat tidak melaksanakan PSBB, namun ironisnya akibat perbuatan tersebut tidak ada sanksi untuk aparat tersebut. 

Nah, jika preman diikutsertakan dalam mendukung kebijakan penerapan PSBB dikakhawatirkan akan menimbulkan dampak yang lebih besar bagi masyarakat karena memanfaatkan tenaga preman berpotensi menyalahgunakan wewenang meski para preman yang dilibatkan telah diberikan bekal pengarahan dan pengawasan dari kepolisian.

Selain itu, melibatkan preman dalam penertiban PSBB seakan menegasikan kemampuan polisi karena inisiatif menggunakan preman justeru datang dari polisi sendiri bukan dari masyarakat.

Persoalan yang dikhawatirkan dan mungkin akan dihadapi masyarakat jika nantinya preman dilibatkan dalam penegakkan disiplin protokol kesehatan memang sangat beralasan, jika kita memahami tentang siapa dan bagaimana preman itu terbentuk. 

Dalam ulasan ini, penulis mencoba memberikan penjelasan secara singkat tentang preman dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Ian Douglas Wilson (2018) dalam bukunya Politik Jatah Preman, Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru, terbitan tahun 2018. 

Dalam buku ini digambarkan secara konprehensif dan rinci mengenai perubahan lanskap politik penuh dengan aneka rupa aktor mulai dari aktor-aktor negara hingga non-negara termasuk para pengusaha kekerasan pasca Orde Baru.

Sosok Preman

Dalam kehidupan sehari-hari di kota Jakarta kita melihat berbagai macam kegiatan yang dilakukan masyarakat, ada yang menjadi pengusaha, pegawai negeri, pegawai swasta, dan pada strata ekonomi terendah kita bisa menyaksikan orang-orang yang bekerja sebagai petugas keamanan atau satpam atau juru parkir toko. 

Namun yang cukup menarik adalah ada orang yang menarik jatah ‘keamanan’ dari para pedagang kaki lima atau bekerja sebagai ‘pak ogah’ yang merupakan suatu istilah yang pernah dipakai masyarakat di tahun 90-an yang pekerjaannya meminta-minta di pengkolan (pertigaan) jalan. 

Banyak orang saat ini menyebut mereka sebagai ‘preman’, istilah yang berasal dari bahasa belanda vrijman, yang secara harfiah berarti ‘orang merdeka”, tetapi dalam bahasa sekarang lazim digunakan untuk merujuk kepada penjahat kecil, tukang palak, atau berandalan. 

Namun di era reformasi saat ini, Wilson menyebut banyak preman yang “merubah bentuk” dengan mengenakan seragam loreng merah, sepatu bot, baret dan lencana pangkat yang dipasok oleh partai atau Ormas tertentu, bagi mata awam mereka nampak seperti personel militer.

Pada bagian lain, perbedaan antara tentara dan preman di Indonesia memang tidak terlalu jelas. Sepanjang sejarah modern Indonesia, negara kerap mengandalkan spesialis-spesialis kekerasan non-negara dan preman-preman setempat ini yang membentuk bagian dari jejaring sub-kontrak yang luas atas control sosial dan politik. 

Sebagaimana dicatat oleh Ryter (1998), sampai tahun 1980-an kata ‘preman’ merujuk secara khusus kepada perwira militer tanpa seragam, tetapi seiring waktu kata ‘preman’ semakin berkonotasi kriminalitas, yang mencerminkan pemahaman mengenai perpaduan antara kekerasan politik dan privat serta ambiguitas antara legalitas dan ilegalitas.

Kecurigaan masyarakat terhadap keterlibatan preman dan pemanfaatan preman oleh pemerintah memang sangat beralasan. Bahkan seorang pakar Tilly (1985) pernah mengatakan bahwa “berulang kali, para spesialis kekerasan non-pemerintah secara efektif bersekutu dengan pemerintah, menjadi bagian dari pemerintahan, mengambil alih pemerintahan yang ada, atau menjadi pemerintahannya sendiri”.

Kemudian, Wilson memberikan gambaran soal preman di Indonesia. Menurutnya Wilson, preman di Indonesia digambarkan sebagai “para spesialis kekerasan” non-pemerintah yang digambarkan Tilly sudah menjadi sosok yang nyata dan hadir di sepanjang sejarah. 

Umumnya mereka hadir dalam aneka variasi dan perwujudan lokal, seperti Ormas-ormas vigilante[1], milisi, gang-gang, pemeras, centeng, kecil, preman politik, keamanan swasta, dan tentara bayaran.

Dari pernyataan ini memang sangatlah mengerikan jika pemerintah benar-benar menggunakan preman sebagai sebagai bagian dari tugas menjaga ketertiban masyarakat dalam mentaati protokol kesehatan. 

Nah, dengan memahami tentang ‘preman’ sebagai sebuah konotasi negatif dari status sosial yang hadir di masyarakat, dan dengan adanya wacana menggunakan tenaga preman oleh polisi tentunya patut kita tolak sebelum menimbulkan dampak yang lebih luas. 

Namun kita akan mendukung jika pemerintah melibatkan Satpol PP dalam membantu polisi yang jumlahnya terbatas untuk menjaga tertib pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat .(FY/15/9/2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun