Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ahok, Pilkada dan Potensi SARA

9 Juni 2016   10:59 Diperbarui: 9 Juni 2016   12:42 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok ketika tampil pada peresmian Masjid di DKI Jakarta (Foto Kemenag, Sugito)

Bisa jadi "kursi" Gubernur DKI Jakarta yang diperebutkan para peminat dari kalangan partai dan calon independen akan mengangkat isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) meski  jenis "permainan" seperti itu sudah tidak laku lagi untuk warga ibukota.

Para pengamat cenderung berpendapat bahwa jika isu SARA dijadikan sebagai instrumen dalam kampanyenya secara terbuka, akan menguntungkan bagi calon petahana Ahok, sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama, dalam memetik poin atau nilai tertinggi jika dilakukan survei.

Warga Jakarta yang majemuk, meski dari sisi jumlah penganut agama, yang bergama Islam lebih banyak. Warga Jakarta dalam memilih pemimpin tidak seperti membeli kucing dalam karung. Atau bisa didikte seperti mencocok hidung sapi dan mudah dibawa dan diarahkan memilih calon tertentu. Hanya orang bodoh sajalah, dengan politik uang, mau menuruti perintah untuk memilih calon pemimpin tertentu.

Warga Jakarta sudah dewasa. Sudah melek politik. Bisa membaca peta politik dan menilai catatan setiap calon pemimpinnya. Lebih lagi, dukungan tekonologi informasi sangat menguntungkan dan menambah cerdas bagi warga di ibukota. Apa lagi pemilih muda, akan lebih paham setiap calon pemimpinnya.

Hal itu terlihat dalam diskusi-diskusi kecil di pos Kamling di beberapa wilayah Jakarta. Pangkalan ojek pun kini mulai diramaikan dengan diskusi tentang Pilkada Jakarta. Apa lagi saat malam Ramadan ini dengan diwarnai tampilan Ahok di layar televisi butut. Fenomena Ahok dewasa ini memang tengah ramai dengan segala kontroversialnya.

Adalah Abdul Jamil Wahab, peneliti dari Kementerian Agama sempat menyinggung masalah Pilkada dalam bukunya berjudul "Harmoni di Negeri Seribu Agama (membaca teologi dan fikih kerukunan)". Tentu saja buku itu, meski sudah diterbitkan sudah lama, masih terasa aktual jika pembaca mengaitkan dengan uraian memilih pemimpin nonmuslim, khususnya di Jakarta dan beberapa daerah pada Pilkada serentak 2017.


Buku ini merupakan refleksi penulisnya sebagai peneliti kehidupan keagamaan di Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama terhadap konsepsi keagamaan tentang kerukunan, sebab pluralisme, kerukunan, dan toleransi secara instrinsik ada dalam semua doktrin agama.

Namun fakta menunjukkan bahwa berbagai konflik sering bermunculan, bahkan ternyata konflik dengan latar belakang agama mendominasi. Agama diakui mempunyai karakter sebagai perekat sosial, namun agama juga memberikan ruang bagi terjadinya konflik.

Dari buku karya Abdul Jamil ini ada sisi lain yang tidak boleh lepas untuk dibaca, yaitu uraian seputar tinjauan hukum Islam dalam memilih pemimpin nonmuslim.

 Ada dua ayat dalam Al-Quran yang sering diartikan sebagai perintah untuk tidak boleh memilih pemimpin dari nonmuslim. Kedua ayat tersebut adalah surat Al-Maidah ayat 51 dan Al-Baqarah ayat 120 yaitu:.

 "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS. Al-Maidah: 51).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun