Lalu, apa sih carok?
Ibnu Hajar, budayawan Sumenep, menyebut carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita. Â
Kapan budaya itu muncul. Para tokoh Madura di Pontianak, ketika pertanyaan tersebut diajukan, tak ada yang dapat menyebut tahun berapa. Yang jelas carok memang sungguh menyeramkan.
Budaya membawa celurit, ketika penulis bermukim di kota tersebut, dapat dengan mudah didapati di jok becak.
Nah, pertarungan yang penulis saksikan tadi, rupanya berawal dari persoalan isteri yang telah diceraikan. Salah satu pihak tak ikhlas mantan isterinya dinikahi rekannya tanpa sepengetahuan dirinya.
Kata warga setempat, yang juga berasal dari Madura, sang mantan suami tak memperoleh kabar bahwa isterinya akan dinikahi oleh rekannya sendiri. Akibatnya, ya begitu? Terjadilah perkelahian dengan senjata tajam celurit.
**
Terkait Ramai Kasus Perceraian, masih kuat pemahaman di kalangan Muslim, bahwa seseorang yang sudah diceraikan, ya sudah, hubungan antarsuami-isteri terputus. Mungkin yang masih terkait adalah menyangkut hak anak dan perwaliannya.
Andai sang suami ingin nikah lagi, ya itu tentu jadi haknya. Demikian juga bagi perempuan punya hak yang sama. Kelebihan lelaki atas perempuan adalah menjatuhkan talak. Namun tidak dengan perempuan, prosesnya panjang dan membutuhkan waktu. Kebanyakan harus melewati pengadilan agama.
Jadi, tak bisa dengan kata-kata kemudian talak jatuh. Perempuan tidak bisa mengatakan ingin segera cerai lalu berpisah tanpa memiliki argumentasi kuat. Apa lagi lelaki (suami) "ngotot" ingin mempertahankan kehidupan rumah tangga, mengingat lagi secara ekonomis dan biologis mampu.
Lantas, mengapa perempuan (isteri) yang sudah diceraikan bisa menimbulkan tindak kekerasan antarsesama?