Di Indonesia, katanya lagi, di sebagian perempuan etnis Arab saja, seperti syarifah  dilarang menikah dengan etnis manapun. Termasuk etnis setempat, Melayu. Mereka lebih mendorong puteri-puterinya untuk menikah dengan keluarga syarif. Punya latarbelakang keturunan Arab, sebagai penerus kenabian.
Mengapa?
Salah satunya agar kekayaan dan status sosialnya tidak jatuh ke orang lain. Jadi, membanggakan status sosial (ningrat) tidak salah. Itu adalah hak asasi. Sebab, orang ningrat itu dapat dipastikan terdidik, pandai, piawai mengelola bisnis dan status sosial di masyarakat lebih tinggi.
**
Itulah sebabnya Devi dan Puspita tak kunjung menikah hingga dijuluki sebagai perawan tua. Namun orangtuanya bukan menolak untuk menikahkan anaknya, tetapi ia berharap dari kalangan intern, sesama ningrat dapat mempersuntingnya. Tapi, hingga waktu demikian lama tak kunjung anggota keluarga yang berstatus sama berani untuk melamar kedua puterinya.
"Raden Mas Bambang Adi Purwa Negoro memang seperti itu. Pendapatnya tak boleh dilawan. Kokoh pendirian," ungkap Jeng Sri dalam percakapan dengan suara perlahan kala berada di dapur.
Isteri Bambang Adi Purwa Negoro mencurahkan isi hatinya kepada anggota keluarga penulis ketika berkunjung dalam suatu kesempatan. Sang isteri nampaknya pasrah bongkokan menghadapi sikap keras sang suami. Anak-anak pun tak bisa memprotes lantaran takut berdosa. Apa lagi sebagai anak harus hormat kepada kedua orangtua.
Pernah seorang pria diterima lamarannya. Namun kemudian hari ditolak lantaran tidak memenuhi kriteria yang diinginkan Mas Bambang. Padahal Undangan Pernikahan sudah disebar. Tapi, tanpa malu-malu, ya dibatalkan.
Singkat kata, sang anak tak bisa berbuat banyak. Anak tak patuh kepada orangtua. Jika membantah, maka pintu neraka terbuka di hadapan. Gitu alasan Bambang Adi Purwa Negoro kepada kedua puterinya.
Sebagai anak, harus menurut. Titik. Harus belajar hingga strata tiga pun akan dibiayai. Kerja harus pilih-pilih, ya sudah tentu harus disesuaikan dengan pendidikan yang didapat.
**