Asyhadu allaa illaaha illallaah artinya aku bersaksi tiada tuhan selain Allah. Sedangkan kata asad artinya singa, asadu artinya singa yang buas. Tentu saja jika diartikan rangkaian kalimat tersebut menjadi menyimpang jauh dari lafadz adzan dalam keseharian umat Muslim.
Sepintas memang terdengar sama, tetapi sejatinya tidak demikian. Perlu pelurusan agar lafadz yang terlanjur salah dapat dibetulkan. Jangan sampai kata Asyhadu terus menerus dibaca asadu yang mengubah makna dari maksud adzan.
Lalu, solusinya bagaimana?
Perlu kesadaran pengurus masjid (takmir) untuk memperhatikan para mua'zim, orang  yang ditugasi mengumandangkan panggilan ibadah (shalat), yaitu Adzan dan Iqomah.
Sepertinya hal ini kesalahan sepele. Tapi, ya harus dibetulkan.
Di Saudi Arabia, kita yang jadi anggota jemaah haji tidak boleh sembarangan tampil sebagai mua'zim di sejumlah masjid yang bertebaran di sekitar Masjidil Haram. Orang-orang pilihan yang akan menjadi Mua'zim dan imam masjid di negeri itu harus menjalani uji kometensi. Setelah mendapat sertifikat dari pihak otoritas setempat, maka barulah mereka dibenarkan tampil sebagai imam dan mu'azim.
Mungkin jika di tanah air diberlakukan hal serupa, bisa jadi bakal menuai protes. Â Kok, untuk urusan ibadah saja negara bisa ikut campur terlalu jauh. Tapi, ada betulnya juga, setidaknya orang-orang yang mengurusi rumah ibadah memiliki kemampuan pada bidangnya. Setidaknya, untuk lafadz adzan tidak mengalami kesalahan.
Lebih bermanfaat lagi, pengurus masjid (ta'mir) dapat mengawasi seluruh aktivitas di masjid. Masjid adalah tempat ibadah. Bukan untuk tempat aktivitas tindakan kekerasan. Termasuk kelompok radikal yang memanfaatkan masjid untuk menunjang kegiatannya.