Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Curhat Kepada Istri, Cinta yang Tengah Memuncak

27 November 2018   21:35 Diperbarui: 28 November 2018   10:23 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, mengatasi rindu dengan berdoa. Foto | islam.com

Saat ini Mama sedang tugas ke Manado, setelah perjalanan cukup jauh sekitar 2 jam dari Jakarta. Mama bertolak Selasa pagi (9/11) dan pada Rabu ini (10/11/2010) ini tengah sibuk. Sibuk mengurusi tetek bengek yang menyangkut tugas kedinasan, kepegawaian dan nasib masa depan orang banyak. Nasib priok orang lain dan nasib dapur sendiri yang harus tetap ngepul.

Ma, jelang wukuf ini hati terasa makin sedih. Jauh dari Mama di Tanah Air. Mama lakukan kegiatan wara-wiri di Tanah Air, Papa boro-boro bisa lihat tanah berbatu. Di sini, batu melulu. Panas terik, kepala kadang puyeng, sakit kepala. Kepala puyeng karena tekanan harus bikin berita harus baik, kepala puyeng lihat unjuk rasa jemaah tak puas dengan panitia penyelenggara ibadah haji (PPI), kepala puyeng wara-wiri mengejar narasumber agar berita aktual.

Katanya orang banyak Papa ini tugas sambil ibadah. Tapi, rasanya ibadahnya nggak tuh. Kerja melulu. Siang malam bikin berita, berceloteh di atas laptop, kadang bernyanyi dengan judul Pulang Jo yang disenandungkan penyayi beken dari Sungai Musi -- tempat Mama mejeng dulu tuh -- Tantowi Yahya. Kebetulan lagunya dari Manado, tempat yang kini Mama kunjungi.

Ma, hati ini terasa makin tertekan. Ketika Papa konsultasi dengan dokter yang paling cerewet di Daker Mekkah, dr. Ramon Andreas, katanya Papa tengah menahan penyakit rindu.

Kok dokter bisa bicara kaya gitu, ya Ma?

Menurut Papa, bukan rindu, tetapi kesal karena urusan di Tanah Suci ini tak kunjung selesai. Bisa dibayangkan gimana nggak kesal, Ma? Sekarang jemaah non porsi -- atau yang populer jemaah sandal jepit atau banyak pejabat disebut haji non kuota -- ikut merepotkan petugas. Di Daker Mekkah, banyak ibu-ibu haji sandal jepit tak mau tidur di ruang layak. Mereka lebih berminat memilih tidur di teras kantor dengan pakaian seadanya.

Papa pikir, mau pergi haji kok mempersulit diri. Mama kan juga sepaham dengan Papa, untuk menunaikan pergi haji itu ada hadisnya yang menyebut jika orang bersangkutan memiliki kemampuan. Kemampuan dalam hal ini, ada uang alias fulus, punya kekuatan fisik alias sehat jasmani dan rohani, sehat kantong dan badan. Pokoknya, sehat segalanya alias luar dalam.

Predikat haji ternyata mahal, ya Ma? Ada orang mau dikibuli pengurus biro perjalanan untuk merogoh keceknya sampai ratusan juta. Wau, mahalnya!

Ma, wukuf semakin dekat. Permasalahan perhajian di Tanah Suci makin bejibun. Mulai transportasi, kesiapan jemaah di Arafah, kesiapan katering dan kesiapan mental dan segala cepiritnya. Belum lagi kemauan dari kalangan pengarah Media Center Haji (MCH) terlalu berlebihan.

Ingin telekonfren lah dengan Presiden SBY, ingin siaran langsung dan beragam macam keinginan agar terliat mercusuarnya.

Padahal, jika dilihat dari segi kemampuan peralatan komunikasi, jauh dari standar. Ya, apa boleh buat. Bagi Papa, semua ini cuma sekedar bual-bual. Bualan di Tanah Suci boleh didengar, tetapi jangan diperdebatkan. Berdebat dalam banyak urusan, bisa jadi urusan yang lebih penting bisa terabaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun