Lantas, ceritanya, pada tahun 1877 Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman untuk menarik perhatian serta meredam kemarahan Bangsa Aceh. Pada saat itu Kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat yang merupakan Sultan Aceh yang terakhir.
Dulu, kata para pedagang di sekitar masjid, rumah ibadah itu juga difungsikan sebagai markas perang dan benteng pertahanan rakyat Aceh. Memang betul dan sejarah pun mencatat bahwa pahlawan-pahlawan nasional Aceh seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien ambil bagian dalam mempertahankan Masjid Raya Baiturrahman.
Masjid Raya Baiturrahman terbakar habis pada agresi tentara Belanda kedua pada tanggal 10 April bulan Shafar 1290H/April 1873 M yang dipimpin oleh Jenderal van Swieten. Rakyat Aceh marah besar.
Pada tahun 1991-1993, Masjid Raya Baiturrahman diperluas. Gubernur Dr. Ibrahim Hasan memberi dukungan dana, Perbaikan dilakukan meliputi halaman depan dan belakang serta masjidnya itu sendiri.
Bagian masjid yang diperluas, meliputi bagian lantai masjid tempat shalat, perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan tempat wudu.
Sedangkan perluasan halaman meliputi, taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua buah minaret. Sehingga luas ruangan dalam Masjid menjadi 4.760 m2 berlantai marmer buatan Italia, jenis secara dengan ukuran 60 120 cm dan dapat menampug 9.000 jamaah.
Masjid tersebut kini memiliki 7 kubah, 4 menara, dan 1 menara induk. Dari masa ke masa masjid ini telah berkembang pesat baik ditinjau dari segi arsitektur maupun kegiatan kemasyarakatan.
Jadi, masjid ini memang sarat dengan sejarah. Karenanya, bila orang bicara tentang Aceh tak sempurna bila yang bersangkutan belum pernah bertandang ke masjid megah itu.
Catatan: sumber bacaan: satu, dua dan hasil wawancara lapangan.