Permintaan sepele---mi instan atau teguran musik keras---berujung pada kobaran api yang menelan seorang istri di Jatinegara, Jakarta Timur.
Peristiwa ini bukan anomali, melainkan puncak krisis yang membara. Sebelum aksinya, pelaku dikenal sebagai "biang kerok" yang merusak gerobak pedagang; getaran kecil sebelum gempa besar.
Kasus ini mencerminkan data suram yang lebih luas. Data Komnas Perempuan dan BPS melaporkan puluhan ribu kasus KDRT tahunan, dengan ribuan perceraian akibatnya---puncak dari kasus tak terlaporkan.
Kita sering terjebak pada pertanyaan "apa" pemicunya, yang jawabannya---mi instan atau musik---terasa absurd dan tidak memuaskan. Pertanyaan sesungguhnya adalah "mengapa": mengapa api menjadi satu-satunya bahasa yang dikenal?
Pemicu trivial itu bukan penyebab, melainkan alat diagnostik yang menyingkap kerapuhan psikologis ekstrem dan tumpukan material frustrasi yang sudah lama terakumulasi, siap meledak hanya dengan satu percikan kecil.Â
Frustrasi Kronis, Agresi yang Salah Alamat
Untuk memahami ledakan brutal ini, Hipotesis Frustrasi-Agresi dari John Dollard dan Neal Miller menyatakan agresi adalah konsekuensi frustrasi---terhalangnya usaha mencapai tujuan.
Ketika sumber frustrasi sesungguhnya, seperti kemiskinan, terlalu kuat untuk dilawan, terjadilah displaced aggression: agresi dialihkan ke target yang lebih aman dan rentan. Sumber frustrasi pelaku bersifat kronis. Secara psikologi ekonomi, statusnya sebagai "pengamen jalanan" menyiratkan tekanan finansial berat; riset konsisten mengaitkan kemiskinan dengan risiko KDRT.
Ketidakmampuan memenuhi peran sebagai pencari nafkah dalam struktur masyarakat patriarkal adalah sumber frustrasi yang mendalam dan terus-menerus. Psikologi lingkungan menambahkan, tinggal di kontrakan padat penduduk meningkatkan stres dan potensi agresi, terbukti dari konflik akibat teguran warga soal musik larut malam.
Secara psikologi sosial, status "biang kerok" menandakan alienasi sosial, menghalangi kebutuhan akan rasa memiliki yang menurut Teori Ikatan Sosial Travis Hirschi dapat mencegah kriminalitas. Dalam psikologis pelaku, istri menjadi simbol dari dunia yang menolaknya.Â