Lupa adalah proses yang tak terasa. Kita jarang mengingat bahwa kita pelupa, karena lupa itu sendiri tidak meninggalkan jejak yang mudah dikenali. Ironisnya, kegelisahan kita atas lubang-lubang dalam ingatan ini sering kali kita respons dengan melihat ke dalam diri, mencari kesalahan pada biologi atau gaya hidup kita.
Namun, bagaimana jika saya katakan bahwa pelupaan massal yang kita alami hari ini bukanlah kegagalan personal, melainkan sebuah kondisi yang direkayasa secara sistemik? Bahwa kita tidak sekadar menjadi pelupa, tetapi kita sedang dibuat menjadi pelupa?
Diagnosis Personal, Masalah Sistemik
Narasi dominan membingkai kelupaan sebagai patologi individual. Para ahli dengan sigap menyodorkan katalog penyebab: kurang tidur, pola makan buruk, stres, kecemasan, depresi, hingga efek samping obat-obatan seperti benzodiazepin atau statin.
Penjelasan ini, meski valid secara klinis, secara implisit menempatkan beban tanggung jawab pada individu. Anda lupa karena Anda kurang tidur, Anda cemas, atau Anda salah makan. Solusinya, tentu saja, bersifat autoplastis: perbaiki diri Anda.Â
Kecenderungan ini mendorong kita pada medikalisasi kelupaan yang normal. Setiap lubang ingatan dilihat sebagai gejala potensial dari "gangguan kognitif ringan" atau pertanda awal demensia, menciptakan kecemasan kolektif.
Filsuf Michel Foucault, dalam karyanya Power/Knowledge, mengingatkan kita bahwa sistem pengetahuan seperti medis tidak hanya mendeskripsikan realitas, tetapi juga menciptakannya. Dengan mendefinisikan dan mengkategorikan "ingatan yang gagal", sebuah rezim "kebenaran" dibangun.
Rezim ini memaksa kita untuk terus-menerus mengawasi dan mendisiplinkan fungsi kognitif kita sendiri. Kita menjadi subjek yang patuh, yang secara sukarela mencoba "menyembuhkan" diri dari gejala yang sebenarnya disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat. Kita sibuk memperbaiki kebocoran di kapal kita, tanpa menyadari bahwa kita sedang berlayar di tengah badai yang sengaja diciptakan. Perhatian kita dialihkan dari masalah sistemik yang sesungguhnya ke kegagalan personal yang ilusif.Â
Arsitektur Amnesia di Era Digital
Paradoksnya, dari sudut pandang biologi evolusioner, lupa adalah sebuah fitur adaptif, bukan bug. Psikolog Daniel L. Schacter dalam kerangka "Tujuh Dosa Ingatan" (The Seven Sins of Memory) berargumen bahwa kegagalan memori seperti transiensi (lupa seiring waktu) atau absent-mindedness (lalai) bukanlah kecacatan, melainkan produk sampingan dari sistem memori yang dirancang untuk efisiensi dan relevansi.
Lupa memungkinkan kita untuk mengabstraksi, menggeneralisasi, dan memprioritaskan informasi yang penting untuk bertahan hidup. Lupa juga krusial untuk kesehatan mental; kemampuan untuk melupakan atau setidaknya menumpulkan detail trauma adalah mekanisme koping yang vital.
Memori kita, seperti yang ditunjukkan oleh karya monumental Elizabeth Loftus, pada dasarnya plastis dan mudah dibentuk, menjadikan kita narator yang tidak selalu andal atas kisah hidup kita sendiri. Lupa adalah editor yang memungkinkan kita merangkai narasi yang koheren untuk terus maju.Â
Masalahnya, mekanisme adaptif yang telah diasah selama ribuan tahun ini kini dieksploitasi oleh lingkungan yang kita ciptakan. Sistem biologis kita yang adaptif tidak sepadan dengan realitas artifisial yang kita rekayasa.
Nicholas Carr, dalam bukunya The Shallows, secara gamblang memaparkan bagaimana arsitektur internet---dengan hyperlink, notifikasi, dan aliran informasi tanpa henti---secara aktif melatih otak kita untuk pemrosesan yang dangkal dan perhatian yang terfragmentasi. Banjir informasi ini menyebabkan "beban kognitif" (cognitive overload) yang melampaui kapasitas pemrosesan otak, sehingga menghambat konsolidasi memori jangka panjang. Kita mengalami "amnesia digital", di mana kita mengalihdayakan ingatan kita ke mesin pencari, melemahkan kapasitas internal kita.Â
Arsitektur amnesia ini diperkuat oleh logika ekonomi. Model bisnis "keusangan terencana" (planned obsolescence) secara fundamental bergantung pada kemampuan kita untuk melupakan kepuasan terhadap produk yang kita miliki dan terus-menerus menginginkan yang baru. Dalam skala yang lebih luas, ini menjelma menjadi "amnesia kolektif" atau "kelupaan sosial" (social forgetting).
Apa yang sebuah masyarakat pilih untuk diingat dan dilupakan adalah sebuah tindakan politis yang dibentuk oleh kekuasaan. Narasi dominan diperkuat melalui pengulangan, sementara ingatan-ingatan alternatif atau yang tidak nyaman secara sistematis dibungkam, sebuah proses yang disebut socially-shared retrieval-induced forgetting.
 Otak yang dilatih untuk menjadi dangkal oleh teknologi menjadi lebih rentan terhadap siklus konsumerisme yang cepat dan lebih mudah menerima narasi politik yang telah disederhanakan dan menghapus konteks sejarah. Ini adalah adaptasi alloplastis yang dipaksakan: lingkungan eksternal secara aktif membentuk ulang fungsi kognitif kita.Â
Merebut Kembali Ingatan, Merancang Masa Depan
Melawan amnesia yang direkayasa ini menuntut perlawanan di dua front. Pertama, perlawanan autoplastis untuk merebut kembali kedaulatan kognitif kita. Ini lebih dari sekadar "detoks digital". Kita perlu secara aktif membudidayakan praktik "mengingat secara mendalam". Salah satu alat paling ampuh yang kita miliki adalah musik.
Penelitian psikologi musik menunjukkan bahwa musik mampu memicu ingatan otobiografis yang kuat dan kaya secara emosional, sering kali secara spontan. Hubungan unik antara musik, emosi, dan memori ini terbukti sangat tangguh, bahkan mampu menembus kabut demensia. Menjadikan musik sebagai sauh mnemonik dapat membangun lanskap batin yang kaya sebagai benteng melawan kedangkalan.Â
Namun, upaya individual tidak akan pernah cukup. Kedua, kita memerlukan perlawanan alloplastis: merancang ulang lingkungan yang mendorong kelupaan. Ini berarti menuntut perubahan kebijakan yang sistemik. Kita butuh "hak untuk memperbaiki" (right to repair) untuk melawan keusangan terencana. Kita perlu meregulasi "ekonomi perhatian" yang memperlakukan kapasitas kognitif kita sebagai sumber daya untuk dieksploitasi, bukan sebagai aset publik yang harus dilindungi.
Sistem pendidikan kita harus mengajarkan "literasi kognitif"---pemahaman tentang cara kerja otak, plastisitasnya, dan bagaimana teknologi membentuk pikiran kita. Pada akhirnya, dalam zaman yang mendapat untung dari amnesia kita, tindakan sadar untuk mengingat---kisah pribadi kita, sejarah kolektif kita, janji-janji yang dibuat untuk kita---menjadi bentuk perlawanan dan harapan yang paling mendasar. Ini adalah deklarasi bahwa masa lalu kita berarti, dan kita berniat membangun masa depan di atasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI