Lupa memungkinkan kita untuk mengabstraksi, menggeneralisasi, dan memprioritaskan informasi yang penting untuk bertahan hidup. Lupa juga krusial untuk kesehatan mental; kemampuan untuk melupakan atau setidaknya menumpulkan detail trauma adalah mekanisme koping yang vital.
Memori kita, seperti yang ditunjukkan oleh karya monumental Elizabeth Loftus, pada dasarnya plastis dan mudah dibentuk, menjadikan kita narator yang tidak selalu andal atas kisah hidup kita sendiri. Lupa adalah editor yang memungkinkan kita merangkai narasi yang koheren untuk terus maju.Â
Masalahnya, mekanisme adaptif yang telah diasah selama ribuan tahun ini kini dieksploitasi oleh lingkungan yang kita ciptakan. Sistem biologis kita yang adaptif tidak sepadan dengan realitas artifisial yang kita rekayasa.
Nicholas Carr, dalam bukunya The Shallows, secara gamblang memaparkan bagaimana arsitektur internet---dengan hyperlink, notifikasi, dan aliran informasi tanpa henti---secara aktif melatih otak kita untuk pemrosesan yang dangkal dan perhatian yang terfragmentasi. Banjir informasi ini menyebabkan "beban kognitif" (cognitive overload) yang melampaui kapasitas pemrosesan otak, sehingga menghambat konsolidasi memori jangka panjang. Kita mengalami "amnesia digital", di mana kita mengalihdayakan ingatan kita ke mesin pencari, melemahkan kapasitas internal kita.Â
Arsitektur amnesia ini diperkuat oleh logika ekonomi. Model bisnis "keusangan terencana" (planned obsolescence) secara fundamental bergantung pada kemampuan kita untuk melupakan kepuasan terhadap produk yang kita miliki dan terus-menerus menginginkan yang baru. Dalam skala yang lebih luas, ini menjelma menjadi "amnesia kolektif" atau "kelupaan sosial" (social forgetting).
Apa yang sebuah masyarakat pilih untuk diingat dan dilupakan adalah sebuah tindakan politis yang dibentuk oleh kekuasaan. Narasi dominan diperkuat melalui pengulangan, sementara ingatan-ingatan alternatif atau yang tidak nyaman secara sistematis dibungkam, sebuah proses yang disebut socially-shared retrieval-induced forgetting.
 Otak yang dilatih untuk menjadi dangkal oleh teknologi menjadi lebih rentan terhadap siklus konsumerisme yang cepat dan lebih mudah menerima narasi politik yang telah disederhanakan dan menghapus konteks sejarah. Ini adalah adaptasi alloplastis yang dipaksakan: lingkungan eksternal secara aktif membentuk ulang fungsi kognitif kita.Â
Merebut Kembali Ingatan, Merancang Masa Depan
Melawan amnesia yang direkayasa ini menuntut perlawanan di dua front. Pertama, perlawanan autoplastis untuk merebut kembali kedaulatan kognitif kita. Ini lebih dari sekadar "detoks digital". Kita perlu secara aktif membudidayakan praktik "mengingat secara mendalam". Salah satu alat paling ampuh yang kita miliki adalah musik.
Penelitian psikologi musik menunjukkan bahwa musik mampu memicu ingatan otobiografis yang kuat dan kaya secara emosional, sering kali secara spontan. Hubungan unik antara musik, emosi, dan memori ini terbukti sangat tangguh, bahkan mampu menembus kabut demensia. Menjadikan musik sebagai sauh mnemonik dapat membangun lanskap batin yang kaya sebagai benteng melawan kedangkalan.Â
Namun, upaya individual tidak akan pernah cukup. Kedua, kita memerlukan perlawanan alloplastis: merancang ulang lingkungan yang mendorong kelupaan. Ini berarti menuntut perubahan kebijakan yang sistemik. Kita butuh "hak untuk memperbaiki" (right to repair) untuk melawan keusangan terencana. Kita perlu meregulasi "ekonomi perhatian" yang memperlakukan kapasitas kognitif kita sebagai sumber daya untuk dieksploitasi, bukan sebagai aset publik yang harus dilindungi.