Arman menghela napas panjang, sebuah napas yang seolah melepaskan beban puluhan tahun. Ia menatap mata putranya.
"Ayah..." ia memulai, suaranya bergetar. "Ayah tidak mau kamu sampai di usia Ayah dan merasa... hanya jadi penonton dalam hidupmu sendiri."
Ia mengutip kata-kata Opa, mengubah kutukan itu menjadi sebuah berkat.
Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Raka melihat ayahnya. Bukan manajer proyek, bukan kepala keluarga, bukan evaluator. Hanya Arman. Seorang pria dengan penyesalannya sendiri. Setetes air mata jatuh dari mata Raka, mendarat di atas sampul naskahnya. Itu bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kelegaan.
Ibunya mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Arman. Keluarga itu tidak utuh kembali dalam sekejap. Luka mereka terlalu dalam. Tapi pagi itu, di bawah tatapan dingin jam digital yang terus berdetak, mereka berhenti berlari. Mereka memilih untuk berdiri diam, bersama, dan untuk pertama kalinya, mencoba menemukan waktu mereka sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI