"Hidup ini bukan panggung, Nak! Tidak ada sutradara yang akan memberimu naskah yang bagus di akhir cerita!"
Air mata mulai menggenang di mata Raka, tetapi suaranya tidak bergetar. Ia justru menemukan kekuatan dalam kejujurannya yang paling brutal. "Justru karena tidak ada sutradara, aku ingin menulis naskahku sendiri! Bukan memainkan peran yang Ayah tulis untukku!" Ia mengambil jeda, napasnya tersengal oleh emosi yang selama ini terpendam.
"Kalau hidup bukan panggung," lanjutnya, suaranya kini pecah, "kenapa aku merasa harus terus-menerus audisi untuk jadi anak Ayah?"
Pertanyaan itu menggantung di udara. Berat. Mematikan. Itu bukan lagi soal teater atau TOEFL. Itu adalah gugatan terhadap pondasi hubungan mereka. Arman terhuyung mundur seolah baru saja menerima pukulan fisik. Di ambang pintu dapur, Ibu terisak tanpa suara, tangannya menutup mulut, menahan jeritan yang tak akan membantu siapa pun. Rumah itu, Jalan Progresif Nomor 12, tiba-tiba terasa seperti sebuah reruntuhan.
Malam itu, Arman tidak bisa tidur. Kata-kata Raka bergaung di kepalanya: audisi untuk jadi anak Ayah. Ia merasa seperti seorang penipu. Ia mondar-mandir di ruang makan yang gelap, ditemani hanya oleh kedipan angka jam digital yang terasa mengejek. Didorong oleh impuls yang tak ia mengerti, ia membuka laci paling bawah di bufet, sebuah kuburan bagi benda-benda dari kehidupannya yang lain.
Di sanalah benda itu tergeletak: sebuah buku sketsa bersampul kulit imitasi yang pecah-pecah. Ia membukanya. Debu beterbangan. Di dalamnya, ada gambar-gambar wajah, pemandangan, dan tangan-tangan yang digores dengan pensil arang. Ia tidak hanya ingat sebuah hobi. Ia ingat perasaan itu---sensasi saat ujung pensil menari di atas kertas, menciptakan dunia dari ketiadaan. Ia ingat kebebasan total. Dan ia ingat dengan sangat jelas rasa sakit saat ayahnya menutup buku itu dan berkata, "Sudah waktunya kamu jadi orang dewasa, Arman."
Ia menyadari sebuah kebenaran yang mengerikan. Ia tidak sedang melindungi Raka dari kegagalan. Ia sedang menginfeksi Raka dengan ketakutannya sendiri. Ia telah menjadi ayahnya. Gagasan unthinkable itu merobek pertahanannya: dalam usahanya membangun benteng keamanan untuk Raka, ia justru telah membangun penjara yang paling sempurna.
Pagi berikutnya, udara di meja makan terasa tipis dan rapuh. Raka, Ibunya, dan Arman bergerak seperti tiga orang asing yang terjebak di dalam lift yang sama. Raka memakan nasi gorengnya dalam diam, siap menerima putusan final.
Arman berdeham. Ia mengambil naskah drama Raka yang tergeletak di meja. Ia tidak membukanya. Ia hanya menggesernya melintasi meja, kembali ke hadapan Raka. Sebuah isyarat gencatan senjata.
"Peran apa yang kamu dapat?" tanya Arman, suaranya serak.
Raka menatapnya, penuh ketidakpercayaan. "Seorang pangeran yang kabur dari istana untuk mencari jati dirinya."