Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Social Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya: (1) 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023); (2) 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan (3) 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertempuran Waktu di Jalan Progresif No. 12

23 September 2025   05:40 Diperbarui: 22 September 2025   12:51 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertempuran Waktu (Sumber: Koleksi Edy Suhardono)

"Cucuku!" pekik Oma, tak menyadari bahwa Raka baru saja memasuki medan perang. "Ya ampun, kok mukanya ditekuk begitu? Sekolah jangan serius-serius amat, nanti cepat tua kayak Opamu ini!"

Opa di belakangnya terkekeh, lalu menatap tajam ke arah Arman. "Arman, jangan paksa anakmu lari di trek yang sama denganmu, apalagi kalau kamu sendiri tidak pernah sampai garis finis di trek impianmu dulu."

Sebuah bom atom baru saja dijatuhkan di tengah meja makan. Wajah Arman memucat, lalu memerah. Itu adalah pukulan telak yang terbungkus dalam nostalgia. Ia ingat treknya: kanvas, cat minyak, dan mimpi menjadi pelukis yang dimatikan oleh ayahnya sendiri dengan kalimat, "Seni tidak akan mengisi perutmu."

"Sudah dulu ya, Ayah, Ibu, kami sedang sibuk." Arman mematikan panggilan secara sepihak.

Ia berbalik menatap Raka, matanya menyala oleh amarah dan luka lama. "Lihat? Lihat apa yang kamu lakukan? Kamu membuat seluruh dunia berpikir Ayah ini monster!"

Selasa sore itu terasa seperti jeda antar babak dalam sebuah tragedi. Raka tidak menyentuh laptopnya. Ia duduk di teras, membiarkan angin membolak-balik naskah drama di tangannya. Ia membaca dialog karakternya, Pangeran Arka, yang melarikan diri dari takdir emasnya untuk mencari sebuah lagu yang hanya bisa didengar oleh hatinya sendiri. Raka tidak sedang membaca naskah; ia sedang membaca jiwanya. Ini bukan hobi. Ini adalah satu-satunya peta yang ia punya.

Deru mobil Arman di garasi memecah lamunannya. Ayahnya melangkah masuk dengan energi seorang jenderal yang baru kalah perang. Ia melihat Raka, melihat naskah di tangannya, dan seluruh kelelahan dunia tumpah di wajahnya.

"Jadi ini yang kamu lakukan seharian? Melamun?" tudingnya, tas kerjanya jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk yang menandakan kekalahan.

"Aku sedang belajar, Pak. Belajar menjadi manusia," balas Raka, suaranya lebih mantap dari yang ia duga.

"Manusia tidak membayar cicilan, Raka! Skor TOEFL yang membayarnya!" raung Arman, urat di lehernya menonjol. "Ayah korbankan semuanya untuk masa depanmu! Jam lembur yang Ayah ambil dari waktu tidur Ayah, stres di kantor yang membuat rambut Ayah rontok, semuanya! Dan kamu mau menukarnya dengan permainan kostum?"

"Masa depanku atau masa depan yang Ayah inginkan untukku?" tantang Raka, berdiri. Untuk pertama kalinya, tinggi mereka hampir sejajar. "Itu dua hal yang sama sekali berbeda!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun