Pernahkah Anda menggaruk gatal terlalu keras? Bukannya sembuh, malah jadi luka. Begitulah cara kita menangani demonstrasi: keras, reaktif, dan tidak menyentuh akar. Setiap kali rakyat turun ke jalan, kita seperti menonton ulang episode lama---kerusuhan, janji damai, lalu diam. Tapi masalah tetap membara di bawah permukaan.
Solusi yang paling sering ditawarkan adalah diplomasi elit. Tokoh-tokoh terkemuka berkumpul, bicara di ruang tertutup, lalu keluar dengan pernyataan damai yang terdengar manis tapi kosong. Seperti dokter yang memberi obat tanpa memeriksa pasien.
Apakah suara petani yang kehilangan lahan atau buruh yang gajinya tak cukup hidup benar-benar didengar? Atau hanya jadi latar belakang dalam foto bersama?
Robert Putnam (1993) menegaskan bahwa demokrasi yang sehat butuh modal sosial: kepercayaan, norma, dan jaringan yang merata. Jika hanya segelintir elit yang bicara, rakyat makin terasing. Aspirasi publik tak tersalurkan, dan akhirnya meledak dalam bentuk kemarahan kolektif.
Diplomasi elit bukan solusi, tapi penundaan masalah. Ia menciptakan ilusi bahwa konflik telah ditangani, padahal akar persoalan tetap utuh. Kita seperti menutup luka bernanah dengan plester bersih---tampak rapi, tapi infeksi tetap menyebar.
Represi Bukan Jawaban yang Menyembuhkan
Ketika diplomasi gagal, negara sering memilih jalan pintas: kirim aparat, bubarkan massa, dan sebut itu "tindakan tegas." Tapi apakah masalah selesai? Atau kita sedang memukul kepala orang yang pusing agar dia pingsan?
Erica Chenoweth dan Maria Stephan (2011) membuktikan bahwa gerakan non-kekerasan dua kali lebih efektif dibanding gerakan yang menggunakan kekerasan. Kenapa? Karena gerakan damai lebih mudah mendapat simpati publik dan sulit dibungkam secara moral.
Sebaliknya, tindakan represif menciptakan trauma pengkhianatan. Institusi yang seharusnya melindungi justru menjadi ancaman. Kepercayaan publik retak, dan seperti cermin, sulit diperbaiki. Psikolog menyebut ini sebagai betrayal trauma---ketika rasa aman berubah menjadi rasa takut.
Kita tidak bisa terus mengobati migrain sosial dengan palu kekuasaan. Pendekatan militeristik hanya memperdalam luka dan memperlebar jurang antara negara dan rakyat. Setiap kali aparat dikerahkan tanpa empati, yang tumbuh bukan ketertiban, tapi kebencian.