Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomi Mentok 5% dan Warisan yang Diabaikan

12 November 2018   10:14 Diperbarui: 12 November 2018   11:08 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Belum lagi multiplier effect lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bakal terjadi. Di antaranya, berdirinya warung-warung makan untuk para pekerja proyek dan karyawan pabrik, pengemudi mobil dan ojek, rumah-rumah kontrakan/kos, dan lainnya.

Dari sisi penerimaan, perubahan paradigma itu juga memberi banyak nilai tambah. Ekspor gas saat ini harganya sekitar US$300/ton. Sebaliknya, jika diolah menjadi LNG harganya naik menjadi US$550/ton. Angkanya akan lebih baik lagi setelah menjadi ammonia US$750/ton, GTL US$1.000/ton, propylene dan ethylene masing-masing US$1.500, dan polymer US$1.800/ton.

Jika gas produksi lapangan Abadi Blok Masela hanya diekspor, negara akan memperoleh pendapatan sekitar US$2,52 miliar/tahun. Sedangkan jika dilakukan hilirisasi, maka angkanya bisa melonjak menjadi US$6,5 miliar/tahun. Ini penerimaan secara langsung. Bila ditambah dengan berbagai multiplier effect yang tidak langsung, jumlahnya bisa menembus US$8 milar/tahun.

Hilirisasi gas menjadi aneka produk petrokimia ini benar-benar berdampak dahsyat. Selain nilai tambah miliaran dolar per tahun, ia juga bisa menghemat devisa. Tahukah anda, bahwa tiap tahun nilai impor berbagai produk petrokimia kita mencapai sekitar Rp100 triliun.

Mereka datang dalam aneka wujud dan bentuk. Antara lain bahan baku pakaian, sepatu, topi, aneka kemasan makanan dan barang jadi lain. Juga bermacam benda yang ada pada rumah; jendela, pintu, dinding, lantai, atap, dan lainnya. Bahkan, pada sebuah mobil tidak kurang dari 40% di antaranya adalah aneka produk petrokimia.

Sejumlah negara penghasil industri petrokimia telah menikmati berbagai manfaat. Malaysia, misalnya, di kawasan Kertih dengan investasi sekitar US$32 miliar telah mampu menciptakan 150.000 tenaga kerja dengan nilai tambah yang luar biasa. Padahal, sebagian gasnya dipasok dari Natuna. Ironisnya, produk petrokimia mereka sebagian diekspor ke Indonesia. Begitu juga dengan Taiwan, industri petrokimianya memberi kontribusi 29% penerimaan negara dengan nilai US$446 miliar/tahun.

Tulisan ini akan menjadi daftar panjang yang membuat miris, manakala data menunjukkan sembilan dari 50 perusahaan petrokimia terbesar dunia, bahan baku gasnya ternyata pasok dari Indonesia. Pada saat yang sama, Indonesia yang selama ini memproduksi dan mengekspor gas, hanya bisa menjadi penonton dan pengimpor.

Terbukti, baru dengan revaluasi aset BUMN, industri pariwisata dan pembangunan kilang blok Masela di darat saja Indonesia bisa lari kencang. Bukan mustahil bila diteruskan, pertumbuhan ekonomi 7% bakal terwujud.

Sayangnya, Presiden Jokowi sepertinya tidak tahu. Dia telanjur dininabobokan oleh laporan-laporan asal bapak senang (ABS) para menteri ekonominya. Walaupun karena itu ekonomi tak beringsut dari angka 5% dan utang tertimbun hingga RPp5.000an triliun. [*]

Jakarta, 12 November 2018

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun