Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Rupiah Kian Lunglai, Saatnya Devisa Balik Kandang

6 November 2018   16:13 Diperbarui: 7 November 2018   08:03 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Namun yang tidak kalah penting, lanjut dia, Pemerintah harus mewajibkan eksportir menempatkan hasil ekspornya masuk ke sistem keuangan nasional. Dengan cara ini, Devisa Hasil Ekspor (DHE) masuk ke Indonesia sebagai net capital inflow. Bila ditambah dengan kewajiban mengkonversi dolar ke rupiah, maka efeknya bisa memperkuat rupiah secara signifikan. DHE yang masuk juga akan memperkuat ke likuiditas perbankan sehingga bank bisa menyalurkan pembiayaan lebih besar ke sektor riil.

DHE yang ditarik masuk ke dalam negeri sangat berguna untuk mempertebal cadangan devisa Indonesia. Maklum, data yang ada menunjukkan sejak Januari 2018 tren cadangan devisa kita terus menyusut. Waktu itu posisi cadangan devisa mencapai $131,98 miliar. Tapi per Juni 2018 tinggal $119,8 miliar. Salah satu penyebabnya karena Bank Indonesia sibuk mengintervensi pasar valuta asing demi meredam gejolak kurs.

Jika membuat UU terlalu lama dan berbelit, RR menyarankan Presiden Jokowi bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu). UU nomor 24/1999 tentang Lalu-lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar kita sangat bebas. Akibatnya, lalu lintas devisa masih tidak terkendali. Eksportir lebih suka memarkir DHE-nya di bank luar negeri.

Sayangnya, sejauh ini Pemerintah hanya menggunakan moral suasion atau imbauan moral yang nyaris tidak ada efeknya. Memang perlu ada insentif bagi eksportir yang menarik devisa ekspornya ke dalam sistem perbankan nasional. Tapi pada saat yang sama juga harus ada sanksi yang tegas jika mereka tetap membandel.

Menakuti-nakuti

Para penganut paham neolib dan penghamba pasar bebas tentu akan keberatan dengan pengaturan devisa yang lebih ketat. Biasanya, mereka akan menyanyikan koor tentang sisi-sisi negatifnya plus berbagai ancaman. Misalnya, kalau devisa diatur ketat maka pengusaha akan memindahkan pabriknya ke luar negeri. Kalau sudah begini bagaimana bisa ada DHE yang diparkir di dalam negeri, lha wong devisanya sendiri juga tidak ada karena tidak ada ekspor. Sayangnya, lagi-lagi, Sri dan para menteri ekonomi berada di barisan ini.

Tentang dampak negatif dari kewajiban memarkir devisa ke dalam negeri yang dilantunkan para pengekor eknomi pasar, bisa dibantah dengan contoh beberapa negara yang telah menerapkan. Thailand dan Malaysia adalah dua di antaranya.

Malaysia sejak 2016 telah menetapkan aturan yang mengharuskan konversi 75% DHE ke denominasi ringgit. Untuk itu eksportir memperoleh tingkat bunga istimewa saat memarkir dananya di bank-bank domestik dengan rekening khusus DHE. Sebelumnya, pada rentang 2006-2010, hanya sekitar 28% dari DHE yang dikonversi menjadi ringgit. Bahkan periode 2011-2015 hanya 1% dari DHE yang dikonversi menjadi ringgit. Dengan kewajiban konversi tersebut, cadangan devisa Malaysia bertambah US$18 miliar.

Thailand bahkan menetapkan kebijakan ketat. Hasilnya luar biasa, mereka mampu pulih dari krisis keuangan lebih cepat ketimbang Indonesia. Pemerintah Thailand dengan ketat mengatur kontrol pertukaran valuta asing. Negeri Gajah Putih itu menerapkan Exchange Control Act yang bertujuan menyalurkan valas bagi kepentingan publik, memantau arus modal keluar, memusatkan kepemilikan valas negara serta stabilisasi nilai tukar bath.

Sejak Desember 2006, Bank of Thailand (BoT) mensyaratkan minimal 30% dari valas dengan nilai US$20.000 atau lebih yang dikonversi menjadi bath dan harus ditahan sebagai jaminan atau deposit. Aturan ini dikecualikan untuk transaksi yang dibebaskan dari syarat transaksi berjaminan. Jaminan akan dikembalikan sepenuhnya jika dana yang dikonversi menjadi bath tersebut mengendap di Thailand setidaknya selama setahun. Jika kurang dari setahun, maka dana jaminan yang dikembalikan hanya dua pertiganya.

Dana jaminan tadi tidak mendapatkan imbal hasil atau bunga. Selain itu, jika dana jaminan tidak dicairkan dalam kurun waktu dua tahun setelah konversi dilakukan, maka dianggap hangus dan menjadi milik negara. Bahkan, nominal rekening valas bagi individu maupun perusahaan asing di Thailand pun dibatasi masing-masing tidak boleh lebih dari $1 juta dan $100 juta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun