Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Negara Vs Penambang, Hari Ini akan Ditentukan Solusi Merah Putih untuk Batu Bara

5 Februari 2018   09:06 Diperbarui: 5 Februari 2018   13:20 2309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Rentetan fakta yang tersaji menunjukkan kemelut yang kini membelit PLN lebih banyak karena faktor di luar kontrol direksi yang dikomandani Sofyan Basir. Soal batu bara yang jadi biang kerok, misalnya, jelas bola sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Ini bisa dimulai dengan mengubah paradigma, bahwa batu bara bukanlah semata-mata komoditas belaka. Ia adalah sumber energi yang sangat penting untuk menggerakkan perekonomian dengan segala multplier effect-nya.

Paradigma inilah yang dipegang teguh negara-negara produsen batu bara dunia. Dari sisi kandungan, mereka jauh lebih raksasa ketimbang Indonesia. Amerika Utara punya cadangan 246 miliar ton, Rusia 147 miliar ton, China 115 miliar ton, Australia dan India masing-masing 76 miliar ton dan 58 miliar ton. Sedangkan Indonasia hanya 28 miliar ton atau kurang dari 3% dari cadangan dunia. 

Tapi karena paradigmanya batu bara adalah komoditas belaka, maka lebih dari 80% produksi batu bara kita ekspor. Bayangkan, dari total produksi sekitar 437 juta ton pada 2017, lebih dari 80% atau sekitar 360 juta ton diekspor.

Indonesia memang punya ketentuan tentang DMO. Tapi, regulasi DMO ternyata cuma setengah hati. Pasalnya, DMO hanya mengatur volume batu bara yang boleh diekspor. Sementara harga sepenuhnya diserahkan sesuai mekanisme pasar internasional. Sebaliknya, Afrika Selatan, Cina dan India yang harganya jauh lebih rendah dari harga batubara pasar dunia. Mereka memanfaatkan tingginya harga pasar untuk menurunkan biaya bahan bakar pembangkit listrik. Indonesia?

Berpegang pada "janji" Sri, berikut ini beberapa prinsip dasar sebagai solusi yang sepatutnya pemerintah ambil terkait batu bara. Pasal 33 yat (3) konstitusi kita jelas-jelas mengamanatkan, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian, sejatinya batu bara adalah milik negara. Para petambang itu sekadar mendapat izin untuk menguasahakannya. Seharusnya negara punya kewenangan penuh dalam menetapkan aloksi dan harga. Pertimbangannya, untuk optimalisasi pendapatan negara, juga mengatur biaya pokok produksi kelistrikan yang tepat.

Di Migas yang membutuhkan biaya jauh lebih besar dan teknologi lebih canggih, berlaku sistem bagi hasil 85:15. 85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor. Di sini ada cost recovery yang dibayar dengan bagian negara. Pemerintah bisa mengubah formula pengusahaan batu bara dari yang selama ini menjadi bagi hasil, misalnya jadi 80:20.

Dengan formula seperti ini, pemerintah bisa menggunakan bagian yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan pembangkit, baik dari sisi kualitas, kuantitas, dan tentu saja, harga yang sudah ditentukan.

Tapi baiklah, kita paham betul bahwa betapa banyak hal simpel menjadi rumit di tangan para pejabat publik. Terlalu banyak kepentingan yang bermain, termasuk kepentingan pribadi dan kekuasaan di belakang tiap kebijakan yang diambil.

Kalau mengubah formula batu bara seperti yang berlaku pada Migas terlampau rumit buat tuan-tuan dan puan-puan, mungkin usul PLN agar harga batu bara khusus DMO bisa digunakan skema cost plus margin sekitar 15%-25%. Skema ini tidak akan membuat pertambang bangkrut apalagi bergelimpangan. Yang terjadi cuma sedikit mengurangi keuntungan. Toh mereka masih bisa mengekspor 80% sisanya dengan harga internasional.

Sekali lagi, skema ini cukup fair, terutama kalau ditilik dari kepentingan yang lebih besar. Kepentingan merah putih. Kecuali kalau tuan-tuan dan puan-puan sudah tidak ada lagi merah-putih di dada. Mungkin yang tertinggal hanya hitam-legam... (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun