Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Listrik Murah tapi Batubara "Membara", Bisa?

1 Februari 2018   14:43 Diperbarui: 1 Februari 2018   14:47 1537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah telah memutuskan harga listrik tahun ini, setidaknya sampai Maret 2018, tidak naik. Tentu saja, ini kabar baik dan menggembirakan. Kasihan rakyat, kalau tarif dasar listrik (TDL) kembali dikerek naik. Beban hidup yang sudah berat tentu bakal kian berat saja. Sekarang saja sebagian besar rakyat harus berokrabat menyiasati penghasilan yang pas-pasan di tengah terus melambungnya harga berbagai barang dan jasa.

Tarif listrik tidak naik. Rakyat senang. Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, pun mengantongi poin postif. Ini bisa jadi modal berharga untuk kembali berlaga di 2019. Ehm...

Tapi, bagaimana dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)? Ada kesan pabrik setrum pelat merah itu seperti dibiarkan berjibaku sendirian dalam menahan kenaikan harga dagangannya. Berjibaku sendirian? Ya. Pasalnya, amat minim, kalau tidak mau disebut nihil, keberpihakan Pemerintan untuk membantu PLN dalam menghadapi terus meroketnya harga batubara.

Buat PLN, kontribusi batubara dalam biaya produksi listrik lumayan gede. Begitu harganya naik, biaya untuk produksi listrik juga ikut melonjak. Tahun silam saja, biaya pokok produksi (BPP) PLN naik Rp16,18 triliun akibat melonjaknya harga batubara. Serem...

Harga batubara yang terus moncer dalam beberapa tahun silam, memang membuat perusahaan petambang lebih suka melego barangnya ke negeri orang. Hanya sebagian kecil dari produksi mereka yang dijual ke pasar domestik. Bayangkan, dari total produksi sekitar 437 juta ton pada 2017, lebih dari 80% atau sekitar 360 juta ton diekspor.

Setengah hati

Masih untung ada ketentuan yang mewajibkan petambang menjual sebagian batubaranya di pasar domestik. Seandainya kewajiban yang disebut domestic market obligation (DMO) sebesar 20% itu tidak ada, bisa dipastikan sebagian besar wilayah NKRI bakal gelap gulita. Sebab, PLTU-PLTU milik PLN berhenti beroperasi karena ketiadaan batubara sebagai bahan bakar.

Tapi, regulasi DMO ternyata cuma setengah hati. Pasalnya, DMO hanya mengatur volume batubara yang boleh diekspor. Sementara harga sepenuhnya diserahkan sesuai mekanisme pasar. Kalau di pasar internasional sedang terbang ke langit, harga DMO pun melonjak-lonjak. Kosekwensinya PLN pun harus merogoh kocek dalam-dalam. Artinya, BPP listrik ikut membengkak. Tapi, pada saat yang sama harga dagangan tidak boleh dinaikkan. Seru!

Pemerintah memang menaikkan royalti batubara sebagai bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tahun lalu, penerimaan PNBP dari royalti batubara naik Rp1,3 triliun. Jumlah itu sangat tidak berarti dibandingkan dengan kenaikan BPP listrik PLN yang mencapai Rp16,18 triliun.

Dirut PLN Sofyan Basir bukannya tidak berusaha mengatasi soal ini. Sejak beberapa waktu lalu dia sudah mengajukan usul soal DMO batubara untuk PLTU. Waktu itu Pemerintah menyatakan, regulasi soal ini bakal terbit awal 2018. Sekarang sudah Februari, wajar saja kalau PLN menagih janji tersebut.

Dalam usulannya, PLN mengajukan agar harga DMO batubara menggunakan skema biaya produksi ditambah keuntungan alias cost plus margin.Besar margin yang diusulkan sekitar 15%-25% dari biaya produksi. Dalam bisnis, apalagi skala besar, keuntungan 15%-25% jelas sangat menggiurkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun