Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gaduh Garam, Tak Cukup Hanya Geram

1 Agustus 2017   16:42 Diperbarui: 2 Agustus 2017   15:40 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kisruh garam di negeri ini sekali lagi menunjukkan potret betapa buruknya para pejabat publik mengelola negara. Di mata rakyat awam, perkara garam sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana mungkin negara dengan garis pantai kedua terpanjang dunia setelah Kanada, bisa kekurangan garam?

Asal tahu saja, Indonesia punya garis pantai 54.716 km. Panjang garis pantai Indonesia bahkan mengalahkan Rusia (37.653 km),  Greenland (44.087 km), Australia (25.760 km), dan Amerika (19.924 km).

Dalam sejarah Indonesia merdeka yang menjelang 72 tahun, baru kali ini kita mengalami kelangkaan garam. Kalau pun bisa didapatkan, harganya meroket secara tidak wajar. Akibat langkanya pasokan, harga garam naik dua kali bahkan lima kali lipat daripada harga normal.

Kondisi ini jadi keluhan para bupati dan wali kota di sela Rakornas Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Bayangkan, kalau bupati dan walikota saja mengeluh,  bagaimana halnya dengan rakyat, seperti para ibu rumah tangga atau pedagang kecil?

"Setelah Lebaran, harga garam terus naik. Saya biasa beli yang isi 10 bungkus Rp35.000, naik jadi Rp60.000. Terus naik lagi Rp85.000. Sekarang hampir Rp100.000, tapi barangnya enggak ada," kata mak Emong (63), pemilik rumah makan Sunda di kawasan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten, seperti dikutip satu media online. Perempuan renta ini sudah puluhan tahun berdagang kuliner khas Sunda.

Para menteri ekonomi boleh saja berdalih kelangkaan garam karena produksi terjun bebas. Faktor utamanya adalah curah hujan yang kelewat tinggi. Total kebutuhan garam untuk konsumsi dan industri mencapai 3,4 juta ton/tahun. Sementara produksi dalam negeri baru mencapai 1,8 juta ton.

Sepertinya dalih para menteri ekonomi tadi masuk akal. Tapi, dalih saja sama sekali tidak cukup. Rakyat butuh solusi tepat dan cepat. Jangan biarkan rakyat berjibaku sendiri untutk keluar dari terjangan berbagai persoalan.  Ada negara yang bertugas melindungi rakyat. Ada pejabat dan aparat yang seharusnya bekerja ekstra keras dan cerdas untuk rakyatnya.

Lagi pula, bukankah panjangnya curah hujan bukan baru kali ini terjadi. Bertahun-tahun silam, Indonesia juga pernah beberapa kali mengalami curah hujan tinggi dan panjang. Tapi, ya itu tadi, baru kali ini dalam sejarah 72 tahun Indonesia merdeka kita mengalami kelangkaan dan mahalnya garam.

Kartel impor

Sejatinya, persoalan garam adalah persoalan yang sama atas sejumlah komoditas pangan kita. Bukan rahasia lagi, bahwa kebutuhan pangan kita banyak mengandalkan impor. Gula, kedelai, daging, bawang putih dan bawang merah, bahkan beras banyak diimpor. Alasannya, produksi lokal tidak mencukupi kebutuhan nasional.

Pada titik inilah, tangan-tangan jahat bermain. Lewat mekanisme impor kiat busuk ditempuh untuk menangguk laba supergede dengan merugikan negara dan rakyat. Ada kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. Pesekongkolan jahat itu bermula dari sistem kuota impor yang dipelihara selama belasan bahkan puluhan tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun