[caption id="attachment_146241" align="aligncenter" width="668" caption="DUO MOTOR - Duo motor AC/DC, Brian Johnson (kiri) dan Angus Young, saat beraksi di panggung. (foto:austinchronicle.com)"][/caption] CAUSE I'm back Yes, I'm back Well, I'm back Yes, I'm back................. Begitulah AC/DC menyapa saya. Ya, lewat lagu berjudul "Back in Black" itulah pertama kali saya mulai jatuh cinta kepada grup asal Australia ini. Terhitung telat mungkin, lantaran kejadian itu berlaku di tahun 1990-an, saat saya duduk di bangku kelas satu SMA. Sementara lagu "Back in Black" sendiri dirilis pada tahun 1980 dalam bungkusan album dengan judul sama. Namun, tentu itu bukan salah saya, lantara pada tahun 1980, usia saya juga baru lima tahun. Yang jelas, lagu tersebut jadi pembuka jalan saya untuk lebih mengenal lagu-lagu milik AC/DC. Maka jadilah, sejak saat itu, saya mulai sering mendengarkan musik-musik milik kelompok yang awalnya didirikan dua gitaris bersaudara Angus dan Malcolm Young di tahun 1970-an ini. Kebetulan, ketika itu, ada seorang kakak kelas yang dengan baik hati mau meminjamkan koleksi kaset-kaset AC/DC miliknya. Ayah kakak kelas saya ini pernah ditugaskan bekerja di Australia sehingga memiliki koleksi kaset AC/DC miliknya luar biasa lengkap. Maka mulailah, sengatan gitar Angus yang merupakan kakak kandung Malcolm, mengisi masa-masa terindah dalam hidup saya, seperti juga Guns N' Roses, Bon Jovi, ataupun Cinderella. Lagu-lagu seperti "Who Made Who", "Highway to Hell", "Moneytalks", "You Shook Me All Night Long", "Dirty Deeds Done Dirt Cheap" , "Whole Lotta Rosie" , termasuk "You Shook Me All Night Long", "Hell Bells", "Shoot to Thrill" yang termasuk dalam dalam Back in Black, jadi begitu familiar di telinga saya. Kebetulan lagi, di tahun yang sama, AC/DC merilis album terbaru mereka ketika itu, The Razors Edge. Karuan saja, lagu-lagu seperti "Thunderstruck", "Are You Ready", ataupun "Moneytalks" langsung memikat hati saya. "This is a rock n roll!" gumam saya, ketika itu. Musik AC/DC, yang formasi awalnya, digawangi Agus dan Malcolm Young (gitar), Phil Rudd (drum), Cliff Williams (bass), dan Bon Scott (vocal) ini unik, sangat khas. Jelas, sangat berbeda dengan musik ala glam yang lebih dahulu saya akrabi. [caption id="attachment_146242" align="alignleft" width="290" caption="ATRAKTIF - Angus Young dikenal sangat atraktif di panggung. (foto: hotguitarist.com)"][/caption] Kental sekali rock n roll mereka mainkan. Bahkan, dibandingkan dengan band-band seangkatan mereka, seperti Deep Purple, Whitsnake, Dio atau lainnya, musik AC/DC benar-benar berbeda. Namun begitu, tetap saja banyak orang mendaulat AC/DC sebagai salah satu pionir hard rock yang merupakan cikal-bakal genre heavy metal. Gitaran Angus Young benar-benar menjadi nyawa lagu-lagu band yang total telah berhasil menjual lebih dari 200 juta kopi album ini. Angus jelas bukan model gitaris shred, yang mengandalkan kecepatan tangan, seperti Richie Blackmore, Jason Becker, Vito Brata, apalagi Yngwie Malmsteen. Dia juga jarang memainkan melodi-melodi harmonis seperti yang sering dimainkan gitaris-gitaris heavy metal atau glam rock, di lagu-lagu sweet atau balada mereka. Permainan Angus terkesan sederhana, tak rumit. Namun, dengan akar blues yang kuat, dia mampu membuat suara-suara yang garang namun tetap enak didengar keluar dari gitar Gibson favoritnya. Kocokan gitarnya juga sangat kompak berpadu dengan kocokan gitar sang adik, Malcolm, yang begitu lihai mengisi kekosongan yang ditinggalkan Angus. Banyak riff-riff legendaris dalam lagu-lagu AC/DC hasil kolaborasi kakak-beradik ini. Ini juga masih ditimpali dengan tingkah-tingkah konyol Angus yang selalu mengenakan seragam anak sekolah dengan celana pendek di setiap penampilannya. Angus memang motor band, sekaligus ikon AC/DC. Tak heran, banyak sekali sampul album AC/DC yang memampang aksi pria kelahiran Glasgow, Skotlandia, 31 Maret 1955 ini. Di panggung, Angus juga sangat atraktif. Salah satu gaya favoritnya saat beraksi adalah mengangkat salah satu kakinya, sambil melompat-lompat dengan kaki lainnya. Gaya ini kemudian masyhur dengan sebutan "duck walk", yang juga menjadi gaya favorit Eet Syahranie, gitaris top negeri ini. Namun, tentu, AC/DC bukan semata Angus atau adiknya, Malcolm, yang berperan sebagai rythm guitar dan backing vocal. Vokal Brian Johnson, juga memberi nuansa yang benar-benar berbeda. Range Johnson memang tak terlalu lebar. Apalagi jika dibandingkan dengan Sebastian Bach, vokalis Skid Row.. uh. Jauh. Namun, Johnson memiliki karakter vokal yang sangat unik. Suaranya sengau, tipis tapi sangat powerful. [caption id="attachment_146243" align="alignright" width="294" caption="KHAS - Selain vokal yang berkarakter, Brian Johnson juga selalu mengenakan topi khasnya di panggung. (foto:gibson.com )"][/caption] Saat bernyanyi, dia seperti menekan suaranya, hingga yang keluar suara sengau yang selintas agak aneh. Namun, justru di situlah kekuatan Johnson yang kemudian menjadi salah satu ciri khas music AC/DC. Aksen Johnson pun tak terlalu "British" untuk ukuran orang Inggris. Maka itu, music AC/DC pun dengan mudah diterima di pasar Amerika Serikat (AS), meski sebelumnya tak banyak grup rock Australia yang mampu melakukannya. "Thunderstruck", "You Shook me All Night Long", dan"For Those About to Rock (We Salute You)" adalah tiga lagu yang menurut benar-benar mengeksploitasi kekhasan vokal Johnson. Terutama di lagu "For Those About to Rock (We Salute You)", di bagian intro saat dia berteriak, "Yea yea yeaaaaa........" Johnson sendiri bukan orang pertama yang menjadi "frontman" AC/DC. Sebab, sebelumnya pernah ada Dave Evans dan Bon Scott yang mengisi line up AC/DC di sektor vokal. Bahkan, boleh dibilang, di era Scott-lah pertama kali AC/DC menjulang, terutama lewat album Highway to Hell yang dirilis pada tahun 1979, dan mendapat tujuh platinum. Bahkan, penggemar fanatik AC/DC, secara khusus membagi periode perjalanan AC/DC berdasar "Era Scott" dan "Era Johnson". Sementara Evans sendiri tak sempat ikut merekam suaranya lantaran telah digantikan Scott, di tahun 1974, sebelum AC/DC merilis album pertama, High Voltage, yang hanya beredar di Australia, tahun 1975. Ya, Scott memang sempat terlebih dahulu menancapkan kukunya di hati penggemar AC/DC. Bahkan, saat Scott tewas pada tahun 1980 lantaran kebanyakan alkohol, banyak penggemar AC/DC tak yakin akan kelangsungan karier AC/DC karena telah kehilangan salah satu sosok "frontman". [caption id="attachment_146247" align="alignleft" width="290" caption="BERI WARNA - Mendiang Brian Scott sempat memberi warna dalam perjalanan AC/DC. (foto: mylespaul.com)"][/caption] AC/DC pun konon sempat berniat memutuskan bubar, sebelum bertemu dengan Johnson, yang ternyata tak hanya mampu menggantikan posisi Scott, melainkan juga memberi warna tersendiri dalam perjalanan AC/DC selanjutnya. Sebab, seperti juga Scott, Johnson termasuk ulung dalam membuat lagu. Bahkan, dia langsung ambil bagian sebagai co-writer bersama Angus dan Malcolm di album debutnya bersama AC/DC, Back in Black di tahun 1980. Hingga kini, meski banyak penggemar fantaik AC/DC belum bisa melupakan Scott, mereka umumnya mengakui, bahwa kehadiran Johnson ikut mendongkrak kebesaran AC/DC. Back in Black sendiri bisa dibilang merupakan album paling sukses dari total 16 album yang pernah dirilis AC/DC. Baik dari segi penjualan ataupun popularitas. Dengan total penjualan sekitar 49 juta kopi, album ini tercatat sebagai album yang paling banyak terjual sepanjang sejarah industri musik dunia. Back in Black hanya kalah dari album Thriller milik mendiang Michael Jackson yang dirilis tahun 1982, dengan total penjualan 110 juta kopi. Tak heran, ketika itu, di AS, album Back in Black, dianugerahi 22 platinum, sebagai "imbalan" 22 juta kopi yang terjual di "Negeri Paman Sam" itu. Album ini juga menjadi album wajib, bagi penggemar fanatic AC/DC. Seperti band-band lainnya, AC/DC, yang masuk dalam Rock and Roll Hall of Fame pada than 2003 ini, juga sempat mengalami bongkar-pasang personel. Selain di sektor vokal, yang sempat tiga kali berganti, dari mulai Evans, Scott, hingga Johnson,  posisi bass, AC/DC juga sempat beberapa kali melakukan pergantian, mulai dari George Young, Rob Bailey, Mark Evans, hingga Cliff Williams. Di sektor drum, bahkan lebih parah lagi. Begitu banyak drummer yang pernah dijajal AC/DC. Saat Phil Ruud dipecat pada tahun 1983, posisi drummer AC/DC sempat diisi Simon Wright, yang belakangan ngetop bersama Dio. Chris Slade juga sempat masuk line up, sebelum Phil Ruud kembali pada tahun 1994. Sementara untuk posisi gitar, praktis tak pernah ada perubahan, lantaran hanya diisi Angus dan Malcolm. [caption id="attachment_146248" align="aligncenter" width="542" caption=" FORMASI TERKINI - AC/DC formasi terkini, dari kiri ke kanan: Brian Johnson (vokal), Cliff Willliams (bass), Angus Young (gitar), Phil Rudd (drum), dan Malcolm Young (gitar). (foto:guardian.co.uk)"][/caption] Album terakhir AC/DC sendiri dirilis tahun 2008 lalu dengan title Black Ice. Hebatnya, album ini ternyata masih mendapat tempat di kasanah music rock dunia. Buktinya, album yang mengetengahkan lagu jagoan "Anything Goes", "Big Jack", dan "Rock n Roll Train" ini mampu terjual hingga 6,5 juta kopi. Bahkan, lewat album ini, AC/DC sukses menyambut Grammy Awards 2010, untuk kategori Best Hard Rock Performance lewat lagu "War Mechine". Diskografi AC/DC 1975    High Voltage* 1975    T.N.T. * 1976    High Voltage 1976    Dirty Deeds Done Dirt Cheap 1977    Let There Be Rock 1978    Powerage 1979    Highway to Hell 1980    Back in Black 1981     For Those About to Rock We Salute You 1983    Flick of the Switch 1985    Fly on the Wall 1988    Blow Up Your Video 1990    The Razors Edge 1995    Ballbreaker 2000   Stiff Upper Lip 2008   Black Ice *hanya beredar di Australia Sumber: Wikipedia, youtube, austinchronicle, shakenstir,acdc.pm, ac-dc.net AC/DC, "Back in Black" AC/DC, "Thunderstruck"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI