Mohon tunggu...
eduforchange
eduforchange Mohon Tunggu... PKM-RSH | Universitas Negeri Yogyakarta

EduForChange hadir sebagai suara yang peduli pada realitas pendidikan di pelosok negeri. Saat ini, fokus utama tertuju pada fenomena putus sekolah di wilayah Gunung Kidul—isu yang sering terjadi, namun jarang benar-benar disorot. Melalui tulisan dan riset lapangan, EduForChange berupaya membuka ruang dialog, menyampaikan cerita yang tersembunyi, dan mengajak siapa pun untuk peduli. Karena setiap anak berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar, tumbuh, dan bermimpi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Luka Batin, Disabilitas, dan Budaya Lokal: Wajah Baru Problematika Putus Sekolah di Gunungkidul

25 September 2025   14:09 Diperbarui: 25 September 2025   14:09 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://bapperida.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar/index/481-angka-putus-sekolah-aps-per-jenjang-pendidikan

Dibalik indahnya perbukitan Gunungkidul, tersimpan kisah anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah. Bukan karena ekonomi, melainkan berlapis alasan yang jarang terlihat: disabilitas, tradisi budaya, hingga perundungan yang menyisakan luka batin. Fenomena putus sekolah di Gunungkidul bukan sekadar angka, melainkan potret nyata bagaimana anak-anak menghadapi kerentanan ditengah tekanan sosial dan budaya.

Gunungkidul kerap diidentikkan dengan kisah perjuangan hidup, termasuk dalam bidang pendidikan. Di wilayah ini, faktor ekonomi sering kali menjadi 'kambing hitam' dibalik tingginya angka putus sekolah. Melihat kenyataan tersebut, kami Tim Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta melalui Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) melakukan penelitian di daerah ini untuk menyingkap wajah lain dari persoalan putus sekolah. Penelitian ini menguak kisah-kisah tersembunyi di balik senyum getir anak-anak yang melibatkan luka batin, disabilitas, tekanan sosial serta dilema antara lingkungan sekitar dan cita-cita pendidikan.

Sumber: https://openyoutu.be/dTdlgMVabCM?si=EehYaQRzh3JJy9Qi 
Sumber: https://openyoutu.be/dTdlgMVabCM?si=EehYaQRzh3JJy9Qi 

Faktor Faktor Yang Membelenggu Pendidikan Anak (Temuan Di Lapangan)
Perundungan menjadi faktor pertama yang kami temukan sebagai penyebab luka batin. Dalam beberapa kasus, perundungan memicu trauma mendalam hingga berdampak pada kondisi mental anak. Salah satu orang tua korban mengungkapkan, "Anak saya itu pendiam sekali, mbak. Dulu dia sering dibully oleh teman-temannya sampai mempunyai keterbelakangan mental." Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman dan menyenangkan justru berubah menjadi sumber ketakutan. Akibatnya, sang anak memilih untuk menarik diri, menolak pergi ke sekolah, hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti. Kasus ini membuktikan bahwa faktor psikologis bisa menjadi penghalang yang lebih kuat daripada sekadar persoalan biaya.

Selain perundungan, disabilitas dan kecelakaan juga menjadi hambatan besar dalam akses pendidikan. Salah satu anak disabilitas enggan bersekolah karena tidak ingin berganti guru. Baginya, guru yang selama ini mendampingi sudah seperti keluarga, dan perpisahan itu terasa berat. Ada pula kasus yang lebih memilukan, dimana seorang anak mengalami kecelakaan sehingga tidak bisa melanjutkan sekolah. "Anak saya sudah berhenti sekolah karena dulu waktu kelas 4 SD sempat kecelakaan motor sampai otak kecilnya kena, imbasnya itu ada penurunan kecerdasan yang memang cara dia berpikir sudah beda sama anak-anak pada umumnya." ujar sang Ayah. Temuan-temuan ini menyoroti pentingnya sistem pendidikan yang lebih inklusif dan sensitif terhadap kebutuhan individu. Pendidikan bukan hanya soal kurikulum, tetapi juga memberikan dukungan penuh bagi setiap anak, apapun kondisinya.

Terakhir, faktor yang kami temukan berkaitan erat dengan budaya lokal dan lingkungan sosial. Di satu sisi, ada anak yang memilih meninggalkan seragam sekolah demi menekuni kesenian jathilan. Panggung pertunjukan menjadi prioritas utama, menggantikan ruang kelas dan buku pelajaran. Di sisi lain, terdapat kisah seorang anak yang tidak bersekolah karena pengaruh keluarga, khususnya karena sang ibu yang tidak peduli akan pendidikan. Anak tersebut lebih memilih tinggal dijalan bersama ibunya daripada melanjutkan sekolah.
Tak kalah penting, pernikahan dini juga menjadi faktor yang mendorong anak-anak untuk berhenti sekolah. Psikolog UPT PPA Gunungkidul mengatakan bahwa "Kami melihat pernikahan dini masih jadi masalah serius di wilayah Gunungkidul, termasuk Playen. Banyak anak yang belum siap secara prikologis, emosional, maupun tekanan lingkungan budaya". Di beberapa kasus, keputusan menikah muda bukan karena perjodohan adat, melainkan pilihan pribadi anak untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Selain itu, terdapat pula kasus pernihakan dini akibat 'kecelakaan' seperti kehamilan di luar nikah. Dalam situasi seperti ini, anak perempuan biasanya segera dinikahkan dan pendidikan pun terhenti. Status sebagai istri atau ibu membuat mereka sulit kembali ke skeolah, apalagi di tengah tekanan sosial dan stigma masyarakat.

Apa Yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Fenomena putus sekolah di Gunungkidul memperlihatkan bahwa persoalan pendidikan tidak hanya terfokus pada faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi faktor lain yang turut menimbulkan permasalahan baru. Selama ini pemerintah telah menyalurkan berbagai program untuk menekan angka putus sekolah mulai dari Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) serta dana BOS. Namun temuan dilapangan menyatakan perlu adanya langkah yang lebih komprehensif.

Upaya pemerintah bisa diperkuat, misalnya dengan menyediakan layanan konseling untuk mengatasi trauma anak, mengembangkan sistem pendidikan yang inklusif, serta memperluas kerja sama lintas sektor agar anak-anak yang menghadapi masalah keluarga tetap memiliki pendidikan yang terarah. Di sisi lain, pemerintah juga dapat memberikan program pelatihan dan keterampilan bagi anak-anak yang sudah terlanjur putus sekolah. Program ini penting agar mereka tidak hanya menganggur atau terjebak dalam pekerjaan yang tidak layak. Langkah ini menjadi solusi bagi mereka yang tidak ingin kembali ke sekolah formal karena merasa malu, sekaligus memberi bekal keterampilan agar lebih mandiri dan bisa meraih masa depan yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun