Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Itu Digugu dan Ditiru, Bukan Dituduh dan Dibunuh

1 November 2021   09:19 Diperbarui: 1 November 2021   09:34 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Guru yang sedang mengajar (sumber: seluncur.id)

Guru makan gaji buta, benarkah?

Tuduhan yang cukup serius. Kadang penulis pun pernah melontarkan pernyataan serupa. Oleh karena melihat sepintas apa yang dilakukan oleh guru. Atau melihat oknum guru yang tidak profesional dalam bekerja walaupun sudah digaji dengan sangat tinggi.

Sangat wajar jika kita marah melihat perilaku beberapa oknum guru yang bertindak luar profesionalitas sebagai pendidik. Tentu kita punya standar yang tinggi dalam menilai kinerja dan perilaku guru. Sebab, ditangan mereka masa depan anak-anak kita di bentuk. Walaupun, bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan generasi penerus. 

Sering kali kita menuduh guru makan gaji buta, namun tidak tahu kondisi yang sebenarnya. Tuduhan yang serius dan sering kali dianggap wajar karena orang tua membayar uang sekolah. Orang tua pada umumnya menganggap bahwa semua guru hidupnya sejahtera. Namun keadaan bisa saja berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh orang tua. 

Kalau mau jujur, program sertifikasi guru sangat membantu perekonomian para guru. Sekali pun gaji sertifikasi diterima selama tiga bulan sekali tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan guru. Namun, regulasi yang ketat tentang sertifikasi membuat para guru kewalahan seperti mencari jam tambahan untuk memenuhi kuota jam mengajar. 

Banyak guru yang sudah sertifikasi namun tidak mendapatkan insentif sertifikasi karena tidak memenuhi kuota jam ngajar. Terutama teman-teman guru yang mengajar mata pelajaran yang memang memiliki alokasi waktu yang sedikit. Secara sederhana kalau mau bicara untung rugi antara guru IPA dengan guru PKn di Sekolah Menengah Pertama (SMP), lebih menguntungkan guru IPA. Hal ini karena alokasi jam ajar IPA dalam satu kelas lebih banyak dari pada guru PKn. 


Dalam satu kelas alokasi jam ajar IPA adalah 5 jam pelajaran. Sedangkan guru PKn hanya 3 jam pelajaran. Syarat guru menerima tunjangan sertifikasi adalah mengajar 24 jam pelajaran. 

Guru IPA di SMP hanya membutuhkan minimal 5 kelas. Namun guru PKn di SMP minimal mengajar di 8 kelas untuk memenuhi syarat penerimaan tunjungan sertifikasi. 

Memang bukan satu-satu syarat untuk memperoleh tunjangan sertifikasi. Akan tetapi, jumlah jam ngajar merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh guru-guru sertifikasi.

Menjadi guru sertifikasi tidak mudah memang. Banyak sekolah juga yang menarik (memotong) tunjangan sertifikasi untuk biaya operasional sekolah. Ada yang 10%, 15%, 20% dan 25% tergantung kesepakatan antara sekolah dengan guru-guru sertifikasi. Aturan yang sifatnya tertutup dan dianggap biasa karena faktor simbiosis mutualisme. Guru membutuhkan sekolah untuk mengajar (dalam kaitannya dengan jam mengajar) dan sekolah membutuhkan guru sebagai pekerja. 

Di balik keadaan yang sungguh memperihatinkan tersebut, ada juga orang tua yang tidak menghargai kinerja guru. Cacian, cemoohan dan bahkan kekerasan sering kali menimpa para guru. Pelaku nya bisa orang tua murid, bisa juga siswa sendiri. Apa pun alasannya tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun