Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru-guru kalau Bikin Soal Kadang Suka Ngelawak

27 Oktober 2021   06:00 Diperbarui: 21 Desember 2021   15:55 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Evaluasi Pembelajaran (sumber: ruangguru.com)

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe

(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)

Salah satu tahapan proses pembelajaran adalah melakukan evaluasi. Evaluasi Pembelajaran adalah suatu proses menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya melalui cara yang sistematis. 

Evaluasi pembelajaran seringkali dilakukan setelah pokok bahasan materi selesai diajarkan, ditengah semester atau di akhir semester. Tergantung kebutuhan guru dalam proses pembelajaran.

Evaluasi pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai bentuk tes, baik tes tertulis maupun tes lisan. Mayoritas guru memilih tes tertulis karena lebih efektif dan efisien. Tes tertulis yang diberikan oleh guru pun, bisa berubah teks objektif (multiple choice test) maupun tes subjek (tes uraian). Tergantung kebutuhan guru dalam mengevaluasi kemampuaan siswa.

Menyusun soal tes untuk mengukur kemampuan siswa memang tidaklah mudah. Kadangkala guru mengambil soal-soal yang sudah tersedia dalam buku atau dari berbagai sumber lainnya seperti internet. Tidak salah memang, namun tanpa melalui verifikasi yang mendalam maka validitas nya diragukan.

Realitas semacam ini sering kita temukan di beberapa sekolah. Terus terang, pada saat melakukan monitoring di beberapa sekolah, penulis seringkali menemukan soal-soal ujian atau ulangan tanpa ada kisi-kisi soal. Dan bahkan tanpa ada analisis butir soal yang komprehensif. Ini berakibat pada ketidaklayakan soal sebagai instrumen evaluasi pembelajaran.

Pertanyaan paling sederhana untuk guru adalah berapa paket soal yang dibuat tanpa mengambil dari buku atau internet? Yakin-seyakinnya,  pertanyaan ini bagi sebagian guru sulit untuk dijawab.

Pertanyaan ini tidak berarti sedang menggiring cara berpikir guru bahwa mengambil soal dari buku-buku resmi itu "haram". Ini hanya sekedar mengingatkan kembali salah satu kemampuan guru adalah melakukan evaluasi pembelajaran secara baik dan benar. Salah satu nya dengan membuat soal yang autentik.

Para guru sudah dibekali ilmu bagaimana cara membuat soal tes dengan baik dan benar. Di perguruan tinggi terdapat matakuliah khusus yang membahas tentang evaluasi pembelajaran bagi calon guru. Apa pun nomenklatur matakuliah nya, yang pasti hampir setiap perguruan tinggi terdapat satu atau lebih mata kuliah yang membahas khusus tentang evaluasi pembelajaran bagi mahasiswa calon guru.

Bekal yang diterima saat di perguruan tinggi tidak diaplikasikan dalam dunia kerja. Kondisi yang sangat miris dan mengkuatirkan. Ilmu yang diterima saat di bangku kuliah seakan sirna begitu saja. Entah apa yang melatarbelakangi sampai hal itu terjadi, namun salah satu faktor adalah kurangnya kontrol dari para pengambil kebijakan di lembaga pendidikan.

Tahap-tahap pembuatan soal seperti uji validitas dan reliabilitas tidak dijalankan secara semestinya. Alhasil, sering kali  kualitas soal yang diberikan tidak sesuai dengan ekspektasi. Bahkan penulis seringkali menganggap guru-guru sering ngelawak kalau lagi menyusun soal.

Berikut ini penulis menguraikan beberapa hal yang menjadi alasan sehingga menegaskan kembali maksud dari judul tulisan ini: 

1. Soal sulit dianggap baik dan memuaskan pembuat soal

Ini anggapan keliru yang muncul ketika membuat soal. Soal sulit tidak berarti kualitas soal tersebut baik. Justru hal ini menggambarkan ketidakmampuan guru dalam mengajar. Kesulitan soal itu relatif dengan berbagai variabel penentu. Sangat disayangkan, jika kesulitan itu merupakan akibat dari ketidakmampuan guru dalam menerangkan materi ajar sehingga siswa tidak memahaminya. Alhasil, siswa kesulitan dalam mengerjakan soal-soal tes yang diberikan guru.

Adanya anggapan soal sulit itu baik  telah mengakibatkan kehilangan hakekat dari maksud dan tujuan tes. Tujuan tes untuk mengukur kemampuan siswa setelah mengikuti prosesi pembelajaran. Jadi, indikator soal harus disesuaikan dengan sejauh mana  keterlaksanaan proses pembelajaran yang sudah dilakukan guru.

Kesan lain adalah adanya kepuasan tersendiri pada guru bila siswa tidak bisa mengerjakan soal yang diberikannya. Ini lebih aneh lagi. Sebab, jika siswa tidak bisa mengerjakan soal yang mereka memberikan, timbul kesan "hebat" pada guru tersebut. Ini lawakan yang tidak perlu dilakukan oleh guru-guru profesional, yang memahami hakekat dan maksud dilaksanakan tes.

Suatu kali saya ditugaskan oleh salah satu yayasan untuk membimbing guru fisika dari beberapa sekolah yang bernaung di yayasan tersebut. Tugas saya adalah membimbing  para guru tersebut bagaimana cara menyusun soal yang baik dan benar.

Disela-sela bimbingan saya meminta mereka untuk menyiapkan soal-soal yang pernah mereka berikan kepada siswa-siswi di masing-masing sekolah. Dengan soal yang mereka miliki, saya menyuruh mereka mengerjakan soal-soal tersebut seperti layaknya seorang siswa saat mengikuti ulangan atau ujian.

Hasilnya cukup mengejutkan, dari segi waktu pengerjaan, hampir semua guru tersebut mengerjakan soal-soal ulangan yang dibuat nya tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan. 

Dalam artian, yang sebenarnya harus dikerjakan dalam waktu 120 menit namun mereka  menyelesaikannya lebih dari waktu yang sudah ditetapkan. Kesimpulannya jelas, guru yang menyusun soal saja tidak mampu mengerjakan soal tersebut dalam waktu yang sudah ditentukan apalagi siswa.

Gambaran ini menegaskan kembali bahwa soal-soal yang dibuat harus memperhatikan tingkat kesukaran masing-masing butir soal. Hal ini agar tidak terjebak pada keterbatasan waktu bagi siswa dalam mengerjakan soal-soal ulangan atau ujian. 

Padahal, waktu 120 menit misalnya, sudah sangat realistis untuk mengerjakan 30 butir soal, jika 1 soal menghabiskan waktu 4 menit. Itu kalau soal yang dibuat guru memperhatikan durasi waktu yang ditetapkan.

2. Kontekstualisasi dan penganalogian soal yang tidak cermat

Ketidakcermatan dalam menyusun soal tes sering kali dilakukan oleh para penyusun soal termasuk para guru. Kontekstualisasi soal serta penganalogian yang tidak cermat menjadikan soal seperti bahan lelucon. Tidak bermaksud merendahkan kualitas soal yang disusun namun pada kenyataannya memang demikian adanya.

Para pembaca yang budiman, pasti pernah menemukan soal-soal yang tidak logis. 

Seperti halnya soal yang dikontekstualkan dari kehidupan nyata namun hal itu justru tidak mungkin terjadi. Kondisi semacam ini sering kali terjadi pada soal-soal fisika dan sering kali juga diabaikan oleh pembuat soal walaupun tak dapat dipungkiri soal-soal tersebut dapat dikerjakan dengan rumus yang ada.

Sebagaimana beberapa soal yang pernah saya temui yaitu: sebuah tandon rumah tangga memiliki volume 1.000.000 meter kubik.........(soal...1). Seorang anak berlari dengan kecepatan 150 meter per sekon (soal....2). Sebuah dongkrak hidrolik memiliki luas penampang besar 1.5 centi meter persegi mengangkat sebuah mobil...... (soal....3).

Sepintas beberapa soal tersebut terlihat biasa saja. Namun tidak kontekstual sehingga terkesan tidak logis. Soal pertama tidak masuk akal karena tidak mungkin ada tandan rumah tangga sebesar lapangan bola kaki. Soal kedua, sangat tidak rasional karena sangat tidak mungkin manusia berlari dengan kecepatan 150 meter per sekon. Soal tiga, tidak sesuai kenyataan karena tidak mungkin ada dongkrak hidrolik yang sekecil itu dapat mengangkat sebuah mobil.

Soal-soal itu jika dihitung pasti akan menghasilkan jawaban juga. Akan tetapi sangat tidak masuk akan bila di tinjau secara riil. Pertanyaan nya, apakah semua soal harus kontekstual? 

Jawabannya tentu tidak. Namun jangan membalikkan nalar berpikir seseorang. Sesuatu keadaan yang nyata (ada) dan dibahasakan dalam soal harus rasional. Jika mau menganalogikan maka pedoman nya tetap rasional dan logis.

3. Kualitas bahasa soal yang menggelitik

Kebayangkan kalau siswa bingung dengan pertanyaan yang ada pada soal-soal tes. Bukan karena tidak tahu menjawab soal tersebut, namun bahasa soal yang membingungkan. 

Siswa sering terjebak pada soal yang berbelit-belit padahal yang ditanyakan adalah hal yang sepele. Jangan sampai ada kesan jawaban gampang namun soalnya yang sulit dipahami.

Struktur serta pola kebahasan pada soal harus bisa dipahami oleh siswa. Oleh karena itu, kesalahan pengetikan (penulisan) soal yang dapat mengubah makna secara keseluruhan soal harus diperhatikan secara seksama. Tidak bisa dianggap sepele karena akan mempengaruhi kualitas soal.

Ada soal yang secara kebahasaan tidak memiliki keseimbangan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain. Entah alasan pengetikan atau apa, namun cukup menggelitik. Lain pengantar soal, lain yang pula yang ditanyakan. 

Hampir semua soal yang di berikan pada siswa merupakan kumpulan soal-soal lama atau yang sudah ada. Yang paling sering diambil dari bank-bank soal ujian nasional atau olimpiade. Karena dianggap paling efektif dan efisien bagi para guru.

Sialnya, jika ada guru yang mengambil soal-soal dari sumber yang masih diragukan kebenarannya. Ini tentu akan berdampak pada kualitas evaluasi pembelajaran. Sebab, bagaimana mungkin evaluasi pembelajaran dapat berjalan baik kalau instrumental untuk mengevaluasi tidak memiliki standar kualifikasi jelas.

Pembaca yang budiman, perkara membuat soal mungkin bagi sebagian orang adalah perkara kecil. Namun dampak dibaliknya sangat luas karena ini berkaitan dengan strategi yang akan dilakukan guru setelah memberikan tes. Tes itu diagnosis, kalau salah maka langkah pengobatan pun akan salah. Sama hal dengan tes, kalau salah melakukan tes maka langkah strategis pembelajaran selanjutnya akan salah juga.

Secara pribadi saya merasa prihatin jika ada guru yang asal-asalan saat membuat soal tes. Salah satu niat baik seorang guru dalam menjalankan tugasnya adalah menyusun soal secara baik dan benar. Kalau pun soal diambil dari buku maka pastikan soal tersebut layak untuk diberikan kepada siswa atau tidak.

Membuat soal memang sudah tugas guru. Soal-soal yang dibuat tidak harus autentik namun bisa dielaborasi dengan soal dari buku-buku atau sumber-sumber yang lain. Tinggal mengikuti prinsip ATM yaitu ambil, tiru, modifikasi dengan tetap memperhatikan validitas, reliabilitas dan kesukaran soal. Semoga.

Mengeruda, 27 Oktober 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun