Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Refleksi "World Teacher's Day": Guru Kelas Vs Guru Privat

6 Oktober 2021   08:38 Diperbarui: 7 Oktober 2021   19:00 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang guru sedang mengajar siswa sekolah dasar. Foto: Kompas.com/Asip Hasani

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe

(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)

Guru merupakan profesi terhormat dalam setiap peradaban manusia dari masa ke masa. Guru menjadi garda terdepan dalam membangun karakter generasi penerus bangsa. 

Eksistensi serta peran  guru tidak bisa tergantikan oleh apa pun. Pada posisi ini, marwah seorang guru tetap harus dijaga, termasuk dalam  kualitas dan kinerja kerja.

Kemarin tanggal 5 Oktober 2021, para guru baru saja memperingati "World Teacher's Day" atau hari guru sedunia. Berbagai ucapan dari netizen menghiasi  lini masa. Ini bentuk apresiasi masyarakat terhadap mulianya tugas seorang guru.

Semua orang bisa menjadi guru bagi orang lain. Sebab, semua orang memiliki tanggung jawab moral sama untuk mencerdaskan kehidupan manusia satu dengan yang lainnya. Persoalannya, apakah setiap orang telah menjadi guru bagi sesama? Biarlah pertanyaan ini menjadi bahan refleksi untuk kita semua.

Pembaca Kompasiana yang budiman, di Indonesia persoalan guru masih saja mendapatkan sorotan dari publik. Beberapa sorotan antara lain masalah kesejahteraan guru, kinerja guru dan bahkan perilaku guru.  Sayangnya, masalah kesejahteraan guru sering kali diabaikan dan masalah kesejahteraan guru sering kali juga dipolitisasi.

Pada kenyataannya, kesejahteraan kehidupan guru masih sangat jauh dari harapan. Masih banyak guru yang hidup miskin di berbagai pelosok negeri. Sungguh sangat memprihatinkan karena bagaimana pun guru adalah pahlawan bangsa di era sekarang. Tanpa guru, sia-sia kita bicara pembangunan sumber daya manusia.

Masalah terbesar negara saat ini adalah mensejahterakan kehidupan guru terutama guru honorer. Memang tidak sepenuhnya kita mempersalahkan pemerintah mengingat kondisi keuangan negara juga tidak bisa mengakomodir seluruh gaji guru. Berbagai mekanisme dan program sudah dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan.

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sampai 2020 jumlah guru non-PNS di Indonesia mencapai 937.228 orang. Dari jumlah tersebut, 728.461 di antaranya berstatus guru honorer sekolah (BBC News Indonesia, 21/02/2021). Dari data tersebut menunjukkan mayoritas guru di Indonesia masih berstatus tenaga honorer. 

Persoalan guru tersebut berimplikasi pada kinerja kerja. Selain itu, guru masih mencari kerja tambahan di luar sekolah. Salah satu indikator nya adalah menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan non formal. Les privat adalah salah satu lahan kerja baru bagi teman-teman guru.

Di era modern, pekerjaan sebagai guru privat memang cukup menjanjikan. Seiring dengan banyaknya permintaan orang tua untuk memasukkan anak-anak di lembaga belajar non formal. 

Pertanyaan muncul: Di era modern, pekerjaan sebagai guru privat memang cukup menjanjikan. Seiring dengan banyaknya permintaan orang tua untuk memasukkan anak-anak di lembaga belajar non formal. Pertanyaan muncul mengapa hal itu bisa terjadi?

Guru Kelas vs Guru Privat

Penulis membatasi pengertian guru kelas sebagai guru yang bekerja disekolah tanpa bekerja sebagai guru privat. Sedangkan guru privat adalah guru yang bekerja di lembaga belajar non formal atau guru kelas yang merangkap sebagai guru privat. Perbandingan ini sengaja dibuat agar dengan mudah dimengerti.

Memang tidak mudah memperbandingkan peran guru kelas dan guru privat. Kompleksitas guru kelas dalam mengemban tugas jauh lebih besar dari pada guru privat. 

Beban tugas admistrasi misalnya, guru kelas jauh lebih banyak dari pada guru privat. Dan hampir pasti, guru privat tidak memiliki beban tugas admistrasi dari lembaga belajar non formal.

Penulis sendiri memiliki lembaga belajar non formal yang mempekerjakan enam orang guru privat. Sebagai pimpinan lembaga belajar "Lebe Education", penulis tidak pernah memberikan tugas tambahan selain mengajar dan mempersiapkan materi ajar dengan baik dan bertanggung. 

Tuntutan sederhana, guru privat harus mampu menciptakan kondisi nyaman di lembaga belajar serta mampu mengajarkan dengan baik agar memudahkan siswa memahami materi ajar tersebut.

Guru privat di lembaga belajar diberikan kebebasan mengajar sesuai dengan strategi masing-masing. Pokoknya setiap guru punya tanggung jawab sendiri terhadap masih-masing peserta les. Standar kualitas guru privat sangat bergantung pada kepuasan pelanggan (peserta les). 

Oleh karena itu, dalam hal memberikan evaluasi kepada guru privat, pimpinan lembaga belajar non formal merujuk pada pendapatan atau penilaian peserta les. Ini mutlak dilakukan agar tidak kehilangan kepercayaan dari pelanggan.

Sangat berbeda dengan guru kelas, ruang gerak dibatasi oleh regulasi yang ada. Banyak peraturan yang dikeluarkan baik dari pemerintah maupun pihak sekolah yang kadang menambah beban bagi guru kelas. Beban administrasi yang menumpuk seringkali mengabaikan tugas utama guru yaitu mengajar.

Kesempatan guru untuk mengembangkan proses pembelajaran sering kali terabaikan oleh tugas administrasi tambahan. Tidak ada lagi waktu guru untuk belajar baik di sekolah maupun di luar sekolah. Waktu luang guru di isi dengan mengerjakan tugas tambahan yang tidak ada kaitannya dengan proses pembelajaran.

Tantangan terberat guru kelas adalah meyakinkan siswa bahwa pembelajaran di sekolah juga penting. Loh, kok sampai segitunya? Mungkin pembaca tidak percaya dengan fenomena semacam ini.

Penulis sendiri pernah menangani kasus semacam ini. Di salah satu sekolah, penulis menemukan ada beberapa siswa yang tidak memperhatikan saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Ternyata persolan yang sama juga dialami oleh rekan-rekan guru yang lainnya. 

Penulis mencoba mendalami kasus ini, ternyata beberapa siswa tersebut adalah peserta privat di lembaga belajar non formal terkenal.

Beberapa siswa tersebut beranggapan materi ajar yang diajarkan disekolah sudah mereka dapatkan di lembaga belajar non formal. Lalu, apa persoalannya? Persoalannya adalah seringkali ulah mereka mengganggu proses pembelajaran. 

Selain itu, bagi mereka proses pembelajaran di lembaga non formal lebih mengena. Alasan nya sederhana pendekatan pembelajaran di lembaga belajar non formal lebih persuatif dan menitikberatkan pada relasi personal. Berbeda dengan sekolah yang menitikberatkan pada pendekatan kelas pada umumnya. 

Lembaga belajar non formal tidak lagi sekedar penunjang untuk meningkatkan pengetahuan siswa. Lebih dari itu, lembaga belajar non formal merupakan lembaga belajar pilihan sebagai bentuk "ketidakpercayaan" orang tua siswa atas proses pembelajaran di sekolah. 

Ketika UN masih diberlakukan, banyak orang tua siswa memasukkan anak-anak nya di lembaga belajar non formal agar memperoleh nilai yang maksimal. Itu berarti ada keragu-raguan atas proses pembelajaran di sekolah formal.

Perlu diakui memang tidak banyak orang tua yang memasukkan anak-anak nya ke lembaga belajar non formal. Selain alasan biaya, tentu karena masih sangat percaya dengan proses pembelajaran di kelas formal. 

Namun sebagai guru kelas, fenomena semacam ini tidak bisa dianggap enteng. Sebab, ada trend yang mengarah untuk mengkerdilkan peran guru kelas yang tidak lebih baik dari guru privat.

Berangkat dari pengalaman penulis, sesekali guru harus memberikan efek kejut kepada siswa yang menganggap sepele dengan proses pembelajaran di kelas. Salah satunya adalah melakukan improvisasi konseptual materi ajar yang tidak selalu menitikberatkan pada penyelesaian soal. 

Sebab, pola yang diterapkan di lembaga belajar non formal adalah membantu siswa mengerjakan soal-soal dengan taraf kesukaran yang tinggi. Seringkali mereka melupakan konsep-konsep dasar materi tertentu. 

Ada banyak siswa yang dengan mudah mengerjakan soal-soal latihan. Berbekal trik dan taktik yang banyak diajarkan di berbagai lembaga belajar non formal. Namun, kalau ditelaah lebih dalam mereka kehilangan banyak konsep atau bahkan terjadi banyak miskonsepsi terhadap suatu materi.

Inilah kesempatan guru kelas mengambil peran yang lebih. Masalah miskonsepsi tidak sesederhana yang dibayangkan. Jika dibiarkan maka akan melekat di memori siswa dan dianggap sebagai suatu kebenaran padahal salah. 

Oleh karena itu, guru kelas mengambil posisi sentral dalam menjelaskan konsep-konsep materi yang diajarkan. Sehingga proses pembelajaran di kelas tidak sekedar mengerjakan soal-soal latihan. Sebab pola itu sama dengan yang dilakukan di lembaga belajar non formal.

Guru kelas tidak boleh kehilangan ekstensi hanya karena kehadiran guru privat. Dalam menjalankan tugas dan peran, keduanya adalah elemen yang saling melengkapi bukan meniadakan. Sama-sama punya kepentingan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Sekian.

Ana Dhiga (sumber: dokumen pribadi)
Ana Dhiga (sumber: dokumen pribadi)

Mengeruda, 6 Oktober 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun