Mohon tunggu...
EDROL
EDROL Mohon Tunggu... Administrasi - Petualang Kehidupan Yang Suka Menulis dan Motret

Penulis Lepas, Fotografer Amatir, Petualang Alam Bebas, Enjiner Mesin, Praktisi Asuransi. Cita-cita: #Papi Inspiratif# web:https://edrolnapitupulu.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Betapa Dalamnya Lubang Kemiskinan Bangsa Indonesia dari Puncak Soekarno, Jaya Wijaya

10 Juli 2017   16:32 Diperbarui: 10 Juli 2017   19:25 1710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan Puncak Soekarno dan Undak berundak Lubang Grasberg Freeport, Pegunungan Jaya Wijaya, Papua (dok.pribadi)

Pada minggu yang lalu, ini adalah kali kedua saya menapakkan kaki di bumi Mimika sejak 2010 yang lalu. Sudah hampir tujuh tahun menjumpai lagi monumen ornamen ban raksasa bridgestonedan buldoser caterpillardi bandara Mozes Kilangin, Timika, Mimika. Maksud ornamen mungkin untuk menandai kemegahan Kabupaten Mimika dengan ramainya ban raksasa dan deru buldoser hilir mudik di atas sana, di dataran tinggi Mimika. Kalau menurut pandangan saya, monumen tersebut menandakan wilayah kekuasaan perusahaan tambang yang mengelola kekayaan bumi Mimika.

Bandara Mozes Kilangin, Timika, Mimika, Papua (dok.pribadi)
Bandara Mozes Kilangin, Timika, Mimika, Papua (dok.pribadi)
Pada kesempatan terbatas dalam kunjungan ke Timika yang kedua, saya tidak lagi menjajaki dataran rendah Mimika, daerah perkotaan kota Timika dimana banyak simpang pemukiman (SP) berada dan rawannya sengatan malaria berada. Kali ini saya menjajaki dataran tinggi Mimika yakni pegunungan Maoke atau dikenal dengan sebutan Pegunungan Jaya Wijaya.

Terus terang, menapaki pegunungan Jaya Wijaya adalah salah satu impian saya sejak di bangku kuliah dulu aktif di dunia kepecinta alaman yang punya hobi naik gunung dimana menyaksikan lewat media cetak dan elektronik bagaimana garangnya pemberitaan kehebatan pendaki gunung menaklukan 7(tujuh) puncak dunia dimana puncak Cartens di pegunungan Jaya Wijaya merupakan salah satunya.

Kini terwujud sudah, menyaksikan sekaligus merasakan atmosfir pegunungan Jaya Wijaya dari dekat. Sungguh luar biasa bentangan alam pegunungan dengan ketinggian di atas 4,200 meter diatas permukaan laut.

Namun yang lebih luar biasa lagi bentangan alam bentukan manusia tambang, lubang tambang terbuka yang mengangga bagaikan kawah raksasa yang juga luar biasa terrekam di satelit angkasa. Perbuatan keserakahan tangan manusia yang tidak hanya meratakan gunung emas menjadi lembah namun mengeruknya hingga titik batas menjadi kawah raksasa menembus perut bumi.

Gletser Tropis dan Global Warming

Gletser tropis satu-satunya di Benua Asia bahkan Dunia juga pulau puncak tertinggi di dunia yakni Pegunungan Jaya Wijaya.

Gletser adalah bentangan es padat yang secara konstan bergerak dengan beratnya sendiri yang terbentuk dari akumulasi salju melampaui masa ablasi (meleleh dan sublimasi) selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad. Gletser secara perlahan berubah bentuk dan mengalir karena tekanan yang disebabkan oleh beratnya, membentuk cerukan-cerukan, balok atau kolom es (serac), dan macam bentukan lainnya.

Glester juga dapat mengerus lapisan permukaan batuan keras dan puing bebatuan yang kelak menciptakan bentangan alam seperti lembah berbentuk seperti amphiteather (cirques) dan Kumpulan puing mulai dari batu besar hingga tepung/silt (moraines). Lapisan es gletser hanya berada di daratan atau pegunungan umumnya lebih tebal dari lapisan es permukaan air pada bentukan laut es atau danau es.

Citra satelit pegunungan Jaya Wijaya tahun 1989 (sumber: www.earthobservatory.nasa.gov)
Citra satelit pegunungan Jaya Wijaya tahun 1989 (sumber: www.earthobservatory.nasa.gov)
Peta Ekspedisi Cartensz tahun 1936 (sumber; 7summits.com)
Peta Ekspedisi Cartensz tahun 1936 (sumber; 7summits.com)
Menurut catatan ilmuwan paleoklimatologi, sepanjang tahun 1300 hingga tahun 1850 atau dikenal sebelumnya sebagai Little Ice Age dimana pada akhir tahun 1850 gletser di bumi mulai berkurang secara subtansial atau besar-besaran termasuk dan tak terkecuali gletser di Pegunungan Jaya Wijaya. Menurut catatan luasan gletser pegunungan Jaya Wijaya pada tahun 1850 sekitar 13 kiometer persegi.

Kemudian pada ekspedisi Cartensz Belanda tahun 1936 hanya berhasil mencapai dua puncak gletser yakni East Cartensz dan Ngga Pulu pada tanggal 5 Desember 1936, karena cuaca buruk mereka gagal memanjat hingga  puncak tertinggi, Cartensz Pyramid.

Pada saat itu berdasarkan keterangan salah satu pendaki Jean Jacques Dozy, gletser masih oleh  menutupi 4 (empat) puncak utama yakni Puncak Jaya/ Puncak Soekarno atau Cartensz Pyramid, East Cartensz Peak, Sumantri dan Ngga Pulu.  Ketika masih ditutupi oleh gletser tebal pada tahun 1936 , ketinggian puncak Ngga Pulu yakni puncak terakhir yang berhasil mereka capai,mencapai ketinggian 4900 mdpl.

Kalau dibandingkan dengan data ketinggian saat ini dari empat puncak sebagai berikut : Puncak Jaya/ Puncak Soekarno atau Cartensz Pyramid ( 4884 mdpl), East Cartensz Peak (4808 mdpl), Sumantri (4870 mdpl), dan Ngga Pulu (4862 mdpl). 

Maka terjadi penurunan ketebalan gletser sebesar 38 meter dan dapat diartikan juga Puncak Jaya pada tahun 1936 berada di ketinggian 5000 mdpl (Puncak 5000) pada zaman sebagian besar belahan bumi mulai hangat dimulai dari kutub Utara (Medieval Warm Period). Meskipun berdasarkan catatan sejarah Romawi, cuaca hangat sudah menginvasi mulai dari Yunani, Eropa hingga Atlantik Utara pada tahun 250 SM hingga 400M, yang kini kita kenal dengan pemanasan global (Global Warming)

Peta Gletser Jaya Wijaya (sumber: wikipedia.org)
Peta Gletser Jaya Wijaya (sumber: wikipedia.org)
Gletser hanya ada di daerah pegunungan di setiap benua termasuk kepulauan samudera dataran tinggi Oseania seperti Selandia Baru dan Papua Nugini. Aktualnya gletser ada di Himalaya, Andes, Pengunungan Rocky, Pegunungan Tinggi di Afrika Timur, Meksiko, New Guinea, dan Zard Kuh, Iran menutupi hampir 10 persen pemukaan bumi. Bentangan gletser luasnya mencapai 13 (tiga belas) juta kilometer persegi  atau seluas 98 persen dari benua Antartika dengan ketebalan mencapai 2100 meter. Perbandingan luasnya adalah sekitar 101 kali lipat dari  luas pulau Jawa (128.297 km2) dan ketebalan es gletser rata-rata sekitar 20,000 kali tebal tembok beton rumah.  

Luasan gletser di pegunungan Jaya Wijaya tercatat pada tahun 2002 adalah seluas 1.17 kilometer persegi mulai dari ketinggian 4750 mdpl membentang pada dua sisi yaitu yang pertama berada di sisi timur laut dari menara Puncak Jaya sepanjang 2,5 kilometer dan kedua berada di bagian timur Dinding Selimut Utara (Northwall Firn) sepanjang 1,8 kilometer dengan lebar 0,8 kilometer.

Berdasarkan dokumentasi citra satelit yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti Amerika  sejak tahun 1936 hingga tahun 2002, gletser pegunungan Jaya Wijaya secara cepat berkurang sebanyak 80 % dan dua pertiganya telah hilang sejak ekspedisi penelitian terakhir tahun 1970an.

Boleh jadi ini kali terakhir saya bisa melihat dua gumpalan salju tropis atau gletser di dua puncak gunung dari Pegunungan Jaya Wijaya pada jarak pandang puluhan kilometer saja dari ketinggian 4285 mdpl, spot bunaken . Nantinya kelak hanya jadi cerita melegenda di masa mendatang. Sebab nasibnya saat ini sudah di ambang kepunahan. Tragis dan hampir tidak dapat terselamatkan lagi.

Pointer kilometer di spot Bunaken, Latar puncak es Puncak Soekarno dan dinding salju NorthWall (dok.pribadi)
Pointer kilometer di spot Bunaken, Latar puncak es Puncak Soekarno dan dinding salju NorthWall (dok.pribadi)
Formasi gletser di pegunungan Jaya Wijaya mungkin sudah terbentuk lebih lama dari bentukan formasi emas dalam perut gunung, ketika bumi mengalami zaman es, ratusan bahkan mungkin puluhan ribu tahun lalu. Berdasarkan hasil penelitian terakhir, usia bongkahan gletser pada gunung es di Atlantik Utara ada yang mencapai 15.000 tahun.

Penelitian ahli paleoklimatologi  belum dapat mengungkapkan sejarah bentukan formasi glacier Jaya Wijaya terkait dengan samudera dan glacier lainnya karena bentukan alam sudah rusak sehingga boleh dikatakan kisahnya tergerus bersama batuan dan limpasan air ke lembah bumi Mimika, sebuah "missing link" dari kekerabatan antara pegunungan es purba, entah itu pegunungan Andes atau pegunungan Himalaya.

Secara teori empiris dapat diringkas, apa yang terjadi di satu gunung gletser berpengaruh pada gunung gletser lainnya pada garis bumi yang sama dan lautan atau samudera terdekat gunung tersebut saling berkaitan.

Sebagai contoh unik, berdasarkan penelitian geologi Amerika menemukan bila terjadi musim hujan di Puncak Jaya, Pegunungan Jaya Wijaya maka di garis bumi yang sama (garis khatulistiwa) dan samudera yang sama (Samudera Pasifik) yakni  Pegunungan Nevado Hualcan, Peru akan mengalami kekeringan. Hal ini sedikit banyak mengungkap bagaimana samudera atau lautan mempengaruhi atmosfer atau mendorong perubahan iklim  atas daratan di belahan bumi lainnya.

Peta Gletser Jaya Wijaya (sumber: www.earth.columbia.edu)
Peta Gletser Jaya Wijaya (sumber: www.earth.columbia.edu)
Krisis Gletser Jaya Wijaya, Krisis Air Papua

Bumi memiliki komposisi cadangan persediaan air yaitu 97 % air laut dan 3 % air tawar. Sekitar tiga-perempat cadangan air tawar dalam bentuk es adalah sekitar 90 % berada di Antartika dan yang lainnya adalah berbentuk gletser di pegunungan. Ini artinya gletser merupakan salah satu sumber terbesar air tawar di muka bumi di seluruh dunia.

Menurut catatan penelitian dari tahun 1982 hingga tahun 2004 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Teluk Alaska,  keluaran air tawar dari gletser memberikan sumbangsih besar bagi kesetimbangan persediaan air di Teluk Alaska yakni dari total debit tahunan sekitar 870 kilometer kubik pertahun, sekitar 47 % berasal dari gletser dan lapangan es atau kurang lebih 371 kilometer kubik air tawar. Total gletser di Teluk Alaska dari tujuh wilayah geografisnya mencapai 72.279 kilometer persegi menghasilkan limpasan air tawar ke DAS sebanyak 320 kilometer kubik per tahun. (lihat sumber data: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1029/2010GL042385/full).

Dari data tersebut, secara rata-rata sumbangsih air tawar per tahun dari gletser dari seluruh wilayah geografis per kilometer persegi adalah sekitar 235 kilometer kubik per tahun. Bila diasumsikan dengan luasan gletser di pegunungan Jaya Wijaya saat ini, katakanlah yang berada di bagian timur NorthWall Firn dengan luas area 1,8 x 0,8 km atau sekitar 1,44 kilometer persegi.

Katakanlah dengan parameter yang sama walaupun pada iklim tropis es lebih mudah mencair (angka limpasan bisa lebih tinggi). Artinya limpasan air tawar dari pegunungan Jaya Wijaya adalah sekitar 235 kilometer kubik per tahun per kilometer persegi, dikalkulasikan dengan luasan Northwall Firn maka limpasan air tawar menjadi 338 kilometer kubik per tahun air tawar jatuh ke lembah, celah bebatuan, sungai, anak sungai terutama daerah aliran sungai (DAS) Kabupaten Mimika. 

Walaupun hingga kini belum ada penelitian dan catatan limpasan air tawar glester namun asumsi angka tersebut di atas mampu menjawab betapa luar biasanya limpasan gletser Pegunungan Jaya Wijaya mampu membentuk sebanyak kurang lebih 94 (Sembilan Puluh Empat)  DAS Kabupaten Mimika sehingga mendapat julukan  "Negeri Di Atas Sungai" yang aliran terus membelah wilayah pemukiman masyarakat Papua daratan Papua mulai dari Timika, Jayapura hingga Nabire dan pada akhirnya bermuara di Laut Arafura, selatan Samudera Pasifik.

Sudah dapat saya bayangkan bila sekitar 40% persediaan air tawar hampir seluruh wilayah Papua adalah dari limpasan gletser pegunungan Jaya Wijaya. Pada akhirnya bila gletser hilang dalam 20 tahun mendatang bukan tak mungkin krisis air bahkan kekeringan akan melanda sebagian wilayah Papua khususnya Mimika, yang dahulu kala adalah negeri di atas sungai.

Hingga saat ini masih beroperasi pompa-pompa di Grasberg mengalirkan sebagian besar air limpasan dari gletser dan cerukan air pegunungan ke jalur produksi pengelolahan konsentrat emas tembaga perusahaan tambang, yang haus akan berton-ton kubik air guna memisahkan batuan bijih yang sudah dihancurkan oleh mesin crusher dari emas, tembaga, perak dan logam lainnya menggunakan metode floatation dan leaching.  Kegiatan pengelolahan konsentrat emas tembaga ini sangat menguras sumber daya air kabupaten Mimika. Bukan tak mungkin di masa mendatang, sungai-sungai yang berada pada daerah aliran sungai sebanyak 94 itu sudah menjadi tercemar bahkan mungkin jumlahnya sudah berkurang karena telah mati kekeringan.

Kabupaten Mimika, Papua tidak hanya mengalami krisis gletser namun juga mengalami krisis air bersih dan sungai kering, pada nantinya. Sungguh pemandangan menyedihkan yang enggan saya saksikan atau dengar.

Aktivitas Tambang Emas dan Kepunahan Manusia Papua

Berdasarkan penelitian terakhir tahun 2010, diperkirakan gletser akan hilang pada tahun 2015. Namun hingga tulisan ini saya tayangkan masih ada gletser di kedua puncak pegunungan Jaya Wijaya meskipun sepertinya sebarannya mulai mengecil.

Perihal besaran volume gletser bahkan inventarisasi menyeluruh ekosistem dan bentangan alam serta sumber daya air Pegunungan Jaya Wijaya nyaris tidak pernah ada sebab kepedulian pemerintah atas keberlangsungan lingkungan hidup atau alam yang sehat berkesinambungan tidak jelas kentara.

Konon lagi bila dikaitkan dengan perusahaan pengelola tambang emas tembaga, yang sudah memecahkan rekor dunia dan mengubah gunung emas  Grasberg (gunung berumput hijau) menjadi mahakarya lubang raksasa yang kelihatan dari angkasa.

 Sejak awal aktivitas tambang emas semata-mata untuk mengeruk keuntungan semata bagi pemodal tanpa memperhatikan keselamatan dan keberlangsungan lingkungan hidup areal konsesi tambang. Falsafah SAM (Sustainable Accepatable Mining) yakni pengelolahan aktivitas pertambangan yang ramah sosial, berkesinambungan dan berwawasan lingkungan yang jadi model perusahaan tambang modern sejak puluhan tahun tidak pernah dilirik oleh perusahaan tambang, PT Freeport Indonesia, perusahaan afiliasi Freeport-McMoran milik Amerika Serikat.

Keberdayaan pemerintah dalam mengatur aktivitas pertambangan perusahaan tersebut yang seyogyanya berwawasan lingkungan ibarat jauh panggang dari api. Belum lagi undang-undang yang mengatur jelas tentang usaha pertambangan guna menganulir kontrak kerja pemerintahan sebelumnya, demi kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia, khususnya manusia Papua kini mampu diakali lagi.

Hasilnya dapat diduga kontak pengerukan emas tembaga Grasberg masih akan terus berlanjut dengan metode underground miningyang disebut sebagai Grasberg Block Cave (GBC) dan Kucing Liar Block Cave (KC) yang menurut rencana akan selesai commisioning akhir 2017 dan berproduksi penuh pada tahun 2018 nanti. GBC dan KC ini memiliki miing rate, 160 ribu ton per hari akan siap untuk menghabiskan cadangan bijih sejumlah 1.357 MM tonnes dengan penghasilan tembaga (Cu)  27.8 Billion lbs dan emas (Au) 22 MM ozs diluar area tambang yang sudah berfungsi seperti Grasberg Open Pit, Deep Ore Zone, Big Gossan, dan Deep Mill Open Zone.  Cadangan terbesar biji ada di GBC yakni sebesar 962 MM Tonnes.  Rencana dengan kapasitas produksi penuh tersebut PT. Freeport Indonesia akan jatuh tempo masa ekonomisnya pada tahun 2024.

layout freeport gold mine (sumber: Freeport Indonesia, www.fcx.com)
layout freeport gold mine (sumber: Freeport Indonesia, www.fcx.com)
GBC Key Facts (sumber: Freeport Indonesia, www.fcx.com)
GBC Key Facts (sumber: Freeport Indonesia, www.fcx.com)
Kemungkinan pada akhir masa itu, tak akan banyak lagi tersisa kehidupan maupun lingkungan hidup yang baik bagi pekerja terutama untuk manusia Papua yang bersuku Amungme maupun Kamoro. Dimana baik dataran tinggi maupun sumber daya air sudah pada titik kritis dan tercemar. 

Meminggalkan banyak sekali masalah kemanusiaan dan kesehatan sebagaimana yang telah terjadi di daerah tambang emas di belahan dunia lainnya yang telah ditinggalkan seperti pengangguran, penyakit kritis entah itu HIV/AIDS, Malaria Akut Bermutasi, Silicosis, kekeringan sungai, dan akhirnya krisis air bersih. Pada akhirnya satu per satu generasi manusia Papua selama kurun setelah masa eksploitasi masif diambang kehancuran lingkungan dan sosial, ujungnya mungkin kepunahan manusia Papua yakni terusir  dari tanah sakralnya, Pegunungan Jaya Wijaya.

Sungguh Grasberg-Freeport sayang, Grasberg-Papua malang. Ibarat pepatah orang asing makan buahnya, bangsa Indonesia dapat sepahnya.  

Timbul pertanyaan dalam batin saya: Kapan lagi Puncak Jaya atau  saya lebih suka menyebutnya Puncak Soekarno ketimbang puncak Cartensz/ Cartensz Pyramid (karena Cartensz sejarahnya diambil dari seorang penjelajah Belanda yang pertama kali saat melintas Teluk Carpentaria, perairan Australia pada hari cerah di tahun 1623 melihat gletser khatulistiwa di puncak gunung, adalah fenomena mustahil yang menjadi bahan olokan masa itu oleh pemerintah Belanda dan seluruh Eropa) dapat kita selamatkan dari kepunahan gletser? Kemudian sekelebat  datang jawabannya bagai kerasnya hembusan angin lautan Samudera Pasifik menuju puncak Maoke, mengelegar menghunjamkan sepotong syair sebuah lagu  pop: "....Matre, Ke Laut Aja"

Hmm... Puncak Soekarno sepertinya akan tenggelam dalam lautan sejarah belaka sebagai monumen satu-satunya gletser tropis di garis khatulistiwa. Hanya tinggal cerita...katanya, katanya.

Pemandangan Dua Gumpalan Gletser Pegunungan Jaya Wijaya dari Bunaken Spot 4285 mdpl (dok.pribadi)
Pemandangan Dua Gumpalan Gletser Pegunungan Jaya Wijaya dari Bunaken Spot 4285 mdpl (dok.pribadi)
Lubang Raksasa Mahakarya Freeport Indonesia (dok.pribadi)
Lubang Raksasa Mahakarya Freeport Indonesia (dok.pribadi)
Citra satelit NASA atas Puncak Soekarno, Jaya Wijaya (sumber: www.earthobservatory.nasa.gov)
Citra satelit NASA atas Puncak Soekarno, Jaya Wijaya (sumber: www.earthobservatory.nasa.gov)
Sejauh saya memandang Puncak Soekarno dari museum Shovel Bicyrus di spot Bunaken, ketinggian 4285 mdpl kemudian memandang ke titik tengah lembah lubang mahakarya Grasberg Open Pit pada ketinggian 3000 mdpl berdiameter 4 kilometer lebih.

Saya sejenak berpikir dan  merenung, betapa dahsyat kedigjayaan akal sehat yang punah di puncak es dan betapa dalam serta lebarnya  bangsa Indonesia jatuh ke jurang kemiskinan layaknya lubang raksasa itu. 

Apalagi kalau saya memandang dari Puncak Soekarno yang konon pernah mencapai ketinggian 5000 mdpl. Hari itu , Kamis 6 Juli 2017 saya mendengar kabar bahwa pemerintah diduga telah menyetujui perpanjangan operasi pertambangan PT Freeport Indonesia hingga akhir. Ini sama halnya dengan miskin sampai akhir. Tragis.

Olok-olokan bangsa Belanda dan seluruh Eropa tentang gletser khatulistiwa di puncak Soekarno terhadap Jan Cartenszoon mungkin kini hampir menjadi kenyataan karena punah. Saya berimajinasi sambil membayangkan raut Jan Cartenszoon yang bersedih atas kenyataan tersebut. Dan juga membayangkan raut penemu Erstberg yang gagah menamakan daerah gunung biji Anton Colijn dkk ternyata tak seberapa kapasitas emasnya dibandingkan Grasberg (gunung lapangan rumput hijau). Apa boleh dikata, ekspedisi tersebut kini berakhir tragis dan ironi, korbannya adalah manusia dan alam Papua, lagi-lagi bangsa Indonesia.

 

Salam Sepah,

Jakarta, 10 Juli 2017

Edrol70

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun