Tahlilan sebenarnya merupakan bentuk takziah: yaitu menghibur hati bagi orang yang berduka cita--inilah tujuannya. Praktek tahlilan seperti di Indonesia tidak ada di zaman Nabi, karena tahlilan sudah melalui berbagai macam proses; sinkretisme kultural. Kita bicara sedikit soal sejarah tahlilan dan hal di sekitarnya.
Masyarakat Indonesia sudah mengenal ritual kematian (Slametan) sejak zaman Hindu-Buddha. Dari sinilah angka-angka seperti 3 hari, 7 hari, 40 hari itu ada.Â
Istilah awalnya adalah nelung dina (3 hari), mitung dina (7 hari), matang puluh (40 hari), dan nyatus dina (100 hari). Setiap fase dina itu ada ritual atau ritus yang diadakan dengan kepercayaan membantu si arwah, untuk permurnian atau bekal menuju alam selanjutnya.Â
Untuk tiga hari, hal semacam ini bisa kita temukan di berbagai tradisi, misal di Yahudi, ada namanya Shiva, yaitu tujuh hari berduka kematian, dimana pada hari ketiga intensitas emosi memuncak. Kristen Ortodoks juga melakukan doa khusus di hari ketiga setelah kematian, melambangkan kebangkitan Kristus di hari ketiga dalam kepercayaan mereka.
Buddhisme Tibet melakukan doa 7 siklus yang dikenal sebagai Bardo, yaitu doa setiap 7 hari selama 49 hari untuk membantu roh menuju reinkarnasi.Â
Untuk 40 hari, kita bisa menemukan tradisi peringatan kematian di beberapa wilayah di Turki, dimana keluarga mengundang kerabat untuk doa dan makan bersama, dianggap sebagai penutup fase berkabung spiritual.Â
Sementara peringatan 100 hari kematian juga dapat ditemukan di berbagai tempat, selain di Indonesia (nyatus), misalnya Buddhist dan Tao, yang tradisi ini dikenal dengan istilah Bai Ri, dimana pihak keluarga biasanya mengundang biksu atau pendeta Tao untuk datang membacakan doa.Â
Di Jepang, penganut Shinto memiliki istilah sokkoku-ki, menandakan berakhirnya masa duka secara resmi bagi keluarga inti, dimana keluarga kembali menjalani kehidupan seperti biasa, dan foto mendiang yang tadinya ditutupi kain putih, kini sudah bisa dibuka kembali; pun keluarga yang mengenakan pakaian putih dan hitam juga berhenti setelah hari ke 100.Â
Islam masuk ke Indonesia melalui ulama dan dai dari Timur Tengah seperti Gujarat, Persia dan Yaman, dimana aliran sufi banyak disana. Dan masyarakat Indonesia, seperti di awal saya tulis, sudah mengenal dan melakukan ritual 3 hari, 7 hari, 40 hari dan seterusnya.Â