Mohon tunggu...
Edmu YulfizarAbdan
Edmu YulfizarAbdan Mohon Tunggu... Guru - Guru Pemula

Penulis Buku Pengabdian Literasi Sang Guru (2023) | Menggapai Cahaya Ramadhan dengan Tadarus Pendidikan (2023) | Guru Pembelajaran Sepanjang hayat (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023) | Antologi Dibalik Ruang Kelas (2024) | Guru SMA |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hardiknas 2024: Tantangan Pendidikan di Tengah Pusaran Kecanggihan Teknologi

2 Mei 2024   15:21 Diperbarui: 2 Mei 2024   17:18 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini telah dilaksanakan seremonial Hari Pendidikan Nasional yang juga bertepatan dengan hari lahir salah satu dari tokoh pendidikan Indonesia yakni Ki Hajar Dewantara. Penulis kebetulan tahun lalu berziarah ke pusaran beliau di daerah Yogyakarya. Di sisi makam beliau terukir rangkaian gambar yang menceritakan perjuangan beliau dari sebelum kemerdekaan hingga sesudah kemerdekaan. Beliau adalah sosok yang berani keluar dari zona nyaman untuk memperjuangan kebahagiaan banyak orang. Betapa tidak, beliau adalah anak seorang bangsawan.

Orientasi kurikulum merdeka belajar pun mengacu kepada gagasan beliau. Dimana beliau memadukan kebaikan pendidikan dari luar negeri dengan kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa sebagai guru kini dan masa depan kita harus selalu mengupdate referensi keilmuan dengan tentunya tidak menghilangkan budaya baik yang dimiliki oleh Indonesia.

Era Kecerdasan Buatan

Tentunya di era sekarang teknologi menjadi salah satu sumber indikator kemajuan. Teknologi bergerak cepat hingga kita mengenal istilah kecerdasan buatan (AI). Penulis sedang membaca buku berjudul 21 Pelajaran untuk Abad ke-21 karya dari Yuval Noah Harari didalam bukunya diceritakan mengenai juara catur dunia yang dikalahkan dengan kecerdasan buatan. Padahal kecerdasan buatan tersebut hanya beberapa jam saja mempelajari pola permainan catur tersebut. Hebatnya lagi pada tahun 2017 program lunak  kecerdasan buatan bernama Stokfish 8 yang memiliki akses terhadap pengalaman manusia bermain catur selama berabad-abad dikalahkan oleh program terbaru bernama AlphaZero Goggle yang baru belajar hingga menjadi pakar dalam waktu 4 jam tanpa bantuan manusia. Jika dihubungkan dengan pendidikan muncul pertanyaan, apakah kelak profesi guru akan digantikan oleh kecerdasan buatan berbasis bioteknologi dan biokimia ?

Menurut penulis bisa jadi profesi guru itu tergantikan dengan teknologi jika ia hanya berbasis kognitif. Karena kecerdasan buatan mempelajari sesuatu dengan cepat dengan algoritma pola, jadi jika pendidikan hanya titik fokusnya hanyalah tranfer of knowledge maka guru tersebut akan kalah dan tidak dapat mengejar kompetensi yang dimiliki oleh program kecerdasan buatan tersebut yang setiap harinya selalu berkembang menjadi lebih canggih.

Apalagi sekarang dikenal pembelajaran differensiasi. Teknologi mempunyai peran yang sangat tepat untuk menjalankan differesiansi dibandingkan guru. Bisa kita lihat bagaimana aplikasi Tiktok, Instagram, Youtube melihat kebiasaan kita hanya melalui pola prefensi kesukaan kita dan menyajikannya kepada kita apa yang diinginkan. Sebagai contoh jika kita sedang bersedih maka banyak video atau konten yang berhubungan dengan hal itu, jika kita sedang bahagia video mengenai kebahagiaan akan banyak muncul, dan seterusnya. Oleh karena itu teknologi tersebut dapat membuat kita betah berlama-lama untuk melihatnya. Apakah anak-anak kita disekolah mau berlama-lama belajar dengan kita ?

Kuantitas Manusia Vs Kualitas Manusia

Pendidikan sejauh yang penulis lihat sampai sejauh ini lebih di fokuskan nomor 1 oleh masyarakat adalah mencari pekerjaan. Oknum kepala sekolah pun  melakukan katrol nilai dengan menggunakan alasan untuk memudahkan siswa mencari pekerjaan walaupun hanya menjadi kasir di swalayan. Alasan berikutnya adalah untuk meningkatkan kuantitas pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Berdasarkan Prestasi ( SNMPTN-BP). Akibatnya ada upaya nilai mata pelajaran dikatrol lebih tinggi. Akhirnya mungkin secara sumber daya manusia kita banyak menghasilkan pekerja namun belum tentu berkualitas.

Efek berikutnya dari banyaknya pekerja yang tidak berkualitas adalah tumbuh suburnya nepotisme. Untuk zaman sekarang penulis bingung mengenai tindakan nepotisme itu suatu perbuatan yang baik atau buruk. Penulis pernah bertemu dengan salah satu pensiunan guru yang bangga memasukkan anaknya ke suatu instansi dengan berbisik " Kalau tidak pakai orang dalam susah sekarang mas". Oleh karena itu jangan heran jika secara dokumen kita melihat suatu kemajuan namun realitanya jauh dari hal tersebut.

Siapa yang diuntungkan dari katrol nilai dan nepotisme ini ? Jelas dia yang memiliki relasi kekuasaan, penjilat ulung dan uang banyak. Apakah ini yang diinginkan oleh pendidikan ?

Konklusi

Teladan merupakan metode pembelajaran yang sangat efektif selama beradab-abad. Bahkan kemajuan suatu pondok pesantren atau sekolah dilihat dari pengaruh teladan tokohnya. Kepala sekolah yang dapat menjadi teladan bagi guru-gurunya maka sekolah tersebut akan maju. Guru-guru yang dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya maka peserta didik tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang sukses. Namun teladan sekarang menjadi barang langka di dunia pendidikan. Tugas kitalah sebagai guru yang tergerak untuk membudayakan teladan yang baik. Teladan inilah yang tidak bisa digantikan oleh teknologi kapanpun dan dimanapun.

Akankah dunia pendidikan suatu saat dapat kembali kepada fitrahnya dengan tidak adanya budaya suap-menyuap, nepotisme, katrol nilai? Semoga Allah mudahkan kita untuk menjalani profesi ini ditengah tantangan tersebut. Karena jika budaya negatif tersebut selalu dipelihara maka lambat laun profesi guru yang dahulunya dihormati akan digantikan teknologi yang dapat memberikan kepuasan maksimal kepada penggunanya. Kuncinya ada pada jiwa guru tersebut. Salam Bahagia, maju selalu untuk pendidikan Indonesia !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun