Bahkan budaya gratifikasi ini sejauh penulis lihat sudah terjadi normalisasi. Apakah pernyataan Gusdur ketika diwawancarai Kick Andy dapat digunakan untuk menjawab permasalahan ini  bahwa,
"Untuk membunuh tikus tidak perlu membakar lumbungnya" kata Andy Noya
" Oh memang" timpal Gusdur
" Kenapa anda mau membakar lumbungnya ?" Tanya Andy Noya
" Karena tikusnya sudah menguasai lumbung"Â Jawab Gusdur
Sebagaimana Gus Baha pernah berkata " Kamu menghadapi zaman modern itu harus baca Qur'an. Qur'an itu diantara yang dipaparkan (Di antara kotoran dan darah ada susu yang bersih yang enak diminum) Jadi Allah itu bisa mengelola sapi itu makanannya rumput, ditubuh sapi itu ada darah dan kotoran namun sapi bisa menghasilkan susu. Maknanya apapun rusaknya zaman kalau kamu orang baik pasti tetap jadi susu yang bersih, tidak usah putus asa."
Norma Budaya, Etika dan Profesionalisme
Pertanyaan lainnya pun muncul di benak penulis, bagaimana pandangan masyarakat (wali murid) terkait pemberian hadiah kepada guru oleh siswa? Apakah hal ini dianggap sebagai praktik yang wajar atau tidak ?
Menurut pengamatan penulis di Indonesia sudah menjadi tradisi siswa memberi hadiah kepada guru (diluar konteks sekolah).
Seperti dulu penulis belajar mengaji kepada seorang guru ngaji, orangtua penulis selalu setiap bulan memberikan sembako atau uang kepada guru tersebut. Dengan harapan keberkahan dan berterima kasih kepada guru tersebut karena sudi mengajarkan ilmunya. Karena satu huruf Al Qur'an yang diajarkan kepada muridnya itu tidak sebanding dengan dunia dan seisinya. Namun guru tersebut tidak memaksa untuk diberi dan tidak juga memerintahkan. Kita yang sebagai murid atau orangtua yang memahami kebutuhan guru tersebut.
Menurut hemat penulis boleh saja guru honorer yang ada disekolah tersebut mendapatkan hadiah atau THR dari muridnya namun dengan syarat bersifat sukarela dan tidak ada perintah bahkan memaksa dari guru honorer tersebut.
Namun lebih baiknya yang memberikan hadiah tersebut tidak memberitahukan identitasnya agar objektivitas dalam menilai anak tersebut terjaga. Pendapat ini untuk yang menganut mazhab realisme. Walaupun kita semua tahu asesmen pendidikan di Indonesia sekarang itu hanya berbasis angka bukan keahlian. Oleh karena itu praktik mendongkrak nilai itu pun sudah menjadi kebiasaan.