Mohon tunggu...
Edi Subroto
Edi Subroto Mohon Tunggu... Pemerhati Ketahanan Nasional

Barang siapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam. - Soekarno.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemerdekaan sebagai Bentuk dari Negasi Dialektis

24 April 2025   19:08 Diperbarui: 26 April 2025   19:44 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sidang BPUPKI

Pertanyaan yang diajukan oleh Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ketika meminta perumusan dasar bagi Indonesia merdeka, bukanlah suatu pertanyaan basa basi.

Pertanyaan itu juga bukan pertanyaan tanpa tujuan, melainkan suatu pertanyaan yang memanggil memori historis untuk menyusun philosophische grondslag—yakni dasar filosofis yang tidak lahir dari renungan abstrak, melainkan dari pengalaman konkret: pengalaman dijajah, dilenyapkan dalam sejarah, dan dikekang dalam eksistensi. Philosophische grondslag ini kemudian kita kenal sebagai Pancasila.

Maka dasar filosofis ini tidak muncul sebagai ide murni, tetapi sebagai artikulasi dari luka sejarah yang mengendap menjadi kesadaran revolusioner. 

Pancasila sebagai philosophische grondslag juga bukan sekadar rumusan ide, melainkan bintang penuntun bagi Indonesia merdeka: pedoman nilai untuk mengarahkan pembangunan bangsa setelah belenggu kolonial dilepaskan. Suatu orientasi normatif, yang menjadi sumber arah bagi perjalanan negara baru, agar kemerdekaan yang diperjuangkan tidak berakhir dalam kekacauan atau kehilangan jiwa.

Kemerdekaan sendiri, dalam pengertiannya yang sejati, tidak lain adalah negasi atas sistem dominasi kolonial—negasi yang bersifat praksis, bukan metafisik; bersifat material, bukan retoris.

Bung Karno, dalam artikulasinya yang historis, tidak merujuk pada kemerdekaan sebagai kebebasan batin, atau sebagai ketinggian moral, apalagi sebagai kesempurnaan teknis kenegaraan. Bung Karno menunjuk pada political independence, yakni pemutusan radikal dari tatanan subordinatif yang dipaksakan oleh kekuasaan kolonial.

Political independence adalah momen ketika subjek historis—yakni bangsa—menolak untuk ditentukan dari luar. Bangsa ini menegaskan dirinya sebagai entitas yang berdaulat, yang tak lagi menggantungkan keberadaannya pada afirmasi dari yang asing, dari yang “lebih maju,” dari yang mengaku sebagai penjaga peradaban. Inilah artikulasi kedaulatan sebagai praksis: bukan sebagai ilusi hukum, tetapi sebagai keputusan eksistensial untuk berdiri di kaki sendiri.

Namun kemerdekaan tidak hadir sebagai titik terminus, melainkan sebagai suatu jembatan emas. Disebut "jembatan" karena kemerdekaan merupakan medium transisi yang mendialektikakan dua bentuk sejarah: yang usang dan yang akan datang. Sedangkan disebut “emas” bukan karena kilau simboliknya, tetapi karena di dalamnya termuat potensi untuk membuka formasi baru, yakni masyarakat pascakolonial yang tidak lagi tunduk pada logika dominasi, melainkan bertumpu pada asas kedaulatan rakyat.

Perlu ditegaskan bahwa apa yang ada di seberang bukan kemewahan. Yang di seberang adalah pekerjaan panjang: menyusun kembali masyarakat yang telah dihancurkan oleh kolonialisme, merebut kembali tenaga produktif yang dirampas, menata ulang struktur sosial, yang menjadikan Pancasila sebagai pedoman. Maka jembatan emas adalah simbol dari keberanian untuk melepaskan dan tekad untuk membentuk yang baru.

Tetapi selalu ada suara yang tampil seolah-olah rasional—suara yang mengatakan bahwa rakyat belum cukup “siap,” belum “cerdas,” belum “sehat.” Suara itu menginginkan kemerdekaan sebaiknya ditangguhkan terlebih dahulu, hingga bangsa benar-benar siap. Namun sejarah bukan urusan kesiapan teknis. Sejarah adalah medan konflik, dan dalam konflik itu, ruang kemerdekaan hanya terbuka bagi mereka yang berani merebutnya. Sejarah tidak menunggu kelayakan; sejarah bergerak dengan keputusan.

Ketika Ibn Saud membentuk Saudi Arabia, yang dihadapinya bukan rakyat modern. Bahkan ada yang belum tahu mobil butuh bensin. Tetapi negara didirikan, dan barulah rakyat dibentuk. Ketika Lenin mendirikan Soviet Rusia, lebih dari 80% rakyat buta huruf. Tapi negara dibentuk, dan barulah pendidikan dibangun. Maka jembatan tidak menunggu kesempurnaan. Jembatan dibangun agar kesempurnaan menjadi mungkin.

Inilah logika sejarah: tatanan yang lama tak dapat diperbaiki dari dalam karena tatanan tersebut dikonstruksi untuk meneguhkan relasi dominatif. Atas hal itu, maka tatanan lama harus dinegasikan. Dan nama dari negasi historis ini adalah kemerdekaan. 

Kehendak untuk merdeka bukan sekadar deklarasi simbolik, melainkan peristiwa material, perjumpaan antara kekuatan produktif yang tertekan dan struktur kekuasaan yang menindas.

Lantas, bagaimana dengan syarat internasional? Hukum internasional, sebagai konstruksi politik global, tidak menuntut kesempurnaan sosial. Syarat internasional agar negara bisa merdeka hanya menekankan adanya keberadaan rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Maka jika sebuah bangsa telah mengikatkan diri pada tanahnya, jika bangsa memiliki kehendak kolektif untuk hidup dan mati demi dirinya, serta memiliki perangkat yang sanggup memerintah, maka secara faktual dan legal, kemerdekaan telah sah. Tidak perlu otorisasi dari kekuatan kolonial yang justru harus dinegasikan.

Sedangkan philosophische grondslag, dasar dari Indonesia merdeka, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, merupakan suatu penegasan untuk menolak menjadi objek dari sejarah yang ditulis oleh yang lain. Dasar dari kehendak menjadi subjek: menulis, bukan ditulis; menentukan, bukan ditentukan. Maka segala bentuk penundaan atas nama “ketidaksiapan” adalah represi baru—represi dalam bentuk logika, dalam bentuk moralitas palsu, dalam bentuk kuasa yang menyamar sebagai nasihat.

Jembatan emas adalah ruang liminal—bukan tempat berdiam, tetapi titik singgung di mana sejarah berpindah tangan. Maka pertanyaan yang relevan bukan: “Apakah kita siap?” melainkan: “Apakah kita berani?” Karena hanya melalui keberanian, kesiapan menjadi mungkin. Dan bangsa yang berani membela tanahnya, sekalipun hanya dengan bambu runcing adalah bangsa yang lebih matang ketimbang bangsa yang bersenjata tetapi bermental budak.

Merdeka bukan karena telah paripurna. Merdeka agar pemurnaan bisa dimulai. Sebagaimana pernikahan bukan karena telah memiliki segalanya, tetapi karena berani berkomitmen untuk membangun bersama dari ketiadaan. Dengan satu tikar, satu periuk, dan satu kehendak historis, jembatan emas diseberangi. Dan di seberang sana, sejarah ditulis oleh tangan sendiri, dengan darah sendiri, dalam nama kedaulatan yang tak lagi ditentukan oleh yang lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun