Mohon tunggu...
Edi Subroto
Edi Subroto Mohon Tunggu... Pemerhati Ketahanan Nasional

Barang siapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam. - Soekarno.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemerdekaan sebagai Bentuk dari Negasi Dialektis

24 April 2025   19:08 Diperbarui: 26 April 2025   19:44 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sidang BPUPKI

Ketika Ibn Saud membentuk Saudi Arabia, yang dihadapinya bukan rakyat modern. Bahkan ada yang belum tahu mobil butuh bensin. Tetapi negara didirikan, dan barulah rakyat dibentuk. Ketika Lenin mendirikan Soviet Rusia, lebih dari 80% rakyat buta huruf. Tapi negara dibentuk, dan barulah pendidikan dibangun. Maka jembatan tidak menunggu kesempurnaan. Jembatan dibangun agar kesempurnaan menjadi mungkin.

Inilah logika sejarah: tatanan yang lama tak dapat diperbaiki dari dalam karena tatanan tersebut dikonstruksi untuk meneguhkan relasi dominatif. Atas hal itu, maka tatanan lama harus dinegasikan. Dan nama dari negasi historis ini adalah kemerdekaan. 

Kehendak untuk merdeka bukan sekadar deklarasi simbolik, melainkan peristiwa material, perjumpaan antara kekuatan produktif yang tertekan dan struktur kekuasaan yang menindas.

Lantas, bagaimana dengan syarat internasional? Hukum internasional, sebagai konstruksi politik global, tidak menuntut kesempurnaan sosial. Syarat internasional agar negara bisa merdeka hanya menekankan adanya keberadaan rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Maka jika sebuah bangsa telah mengikatkan diri pada tanahnya, jika bangsa memiliki kehendak kolektif untuk hidup dan mati demi dirinya, serta memiliki perangkat yang sanggup memerintah, maka secara faktual dan legal, kemerdekaan telah sah. Tidak perlu otorisasi dari kekuatan kolonial yang justru harus dinegasikan.

Sedangkan philosophische grondslag, dasar dari Indonesia merdeka, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, merupakan suatu penegasan untuk menolak menjadi objek dari sejarah yang ditulis oleh yang lain. Dasar dari kehendak menjadi subjek: menulis, bukan ditulis; menentukan, bukan ditentukan. Maka segala bentuk penundaan atas nama “ketidaksiapan” adalah represi baru—represi dalam bentuk logika, dalam bentuk moralitas palsu, dalam bentuk kuasa yang menyamar sebagai nasihat.

Jembatan emas adalah ruang liminal—bukan tempat berdiam, tetapi titik singgung di mana sejarah berpindah tangan. Maka pertanyaan yang relevan bukan: “Apakah kita siap?” melainkan: “Apakah kita berani?” Karena hanya melalui keberanian, kesiapan menjadi mungkin. Dan bangsa yang berani membela tanahnya, sekalipun hanya dengan bambu runcing adalah bangsa yang lebih matang ketimbang bangsa yang bersenjata tetapi bermental budak.

Merdeka bukan karena telah paripurna. Merdeka agar pemurnaan bisa dimulai. Sebagaimana pernikahan bukan karena telah memiliki segalanya, tetapi karena berani berkomitmen untuk membangun bersama dari ketiadaan. Dengan satu tikar, satu periuk, dan satu kehendak historis, jembatan emas diseberangi. Dan di seberang sana, sejarah ditulis oleh tangan sendiri, dengan darah sendiri, dalam nama kedaulatan yang tak lagi ditentukan oleh yang lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun