Mohon tunggu...
Edwin Purnawan
Edwin Purnawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Media Sosial di Indonesia, Kebebasan Pers atau Ancaman

29 Januari 2018   22:11 Diperbarui: 29 Januari 2018   22:22 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Setelah berakhirnya masa Orde Baru pada tahun 1998, pers atau media massa di Indonesia dapat kembali menghirup udara bebas setelah sekian lama terkekang oleh pemerintah. Bahkan pertumbuhan media massa di negeri ini terbilang cukup signifikan untuk waktu yang relatif sebentar. Banyak sisi positif atas kebebasan pers yang terjadi, salah satunya adalah masyarakat yang tidak buta akan informasi di Indonesia maupun dunia internasional. Namun dibalik itu semua, kebebasan pers juga mengandung hal negatif.

                Sebelum masuk lebih dalam, akan lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu apa itu pers. Menurut UU No. 40 tahun 1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

                Dalam tulisan ini, penulis tertarik untuk membahas perihal salah satu media massa elektronik yaitu media sosial atau seringkali disingkat medsos. Dengan segala keterbatasan yang ada, Indonesia dapat menjadi salah satu negara yang tidak buta informasi. Akses untuk memiliki gadget dan terhubung dengan internet dapat terbilang sangat mudah serta murah. Setiap orang dapat mengakses gawainya masing-masing untuk membuka media onlineseperti website, aplikasi berita, dsb. Tapi sayangnya, masyarakat Indonesia sangat mudah percaya dengan kabar hoax yang mereka temui. Penyebabnya adalah kurangnya literasi dan edukasi masyarakat tentang media sosial yang menyebabkan orang-orang Indonesia sering terjebak dalam berita hoax.

                Beberapa waktu lalu, terbongkar sindikat bisnis pembuatan berita hoax yang menggegerkan dunia maya yaitu Saracen. Mereka membuat berita palsu dengan bayaran tinggi, dan ironisnya, banyak masyarakat yang kemudian termakan isu palsu tersebut yang menandakan bahwa betapa mudahnya masyarakat untuk memercayai berita palsu. Bahkan faktanya, penulis masih sering menemukan berita hoax di media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter, terutama soal politik dan juga SARA yang masih menjadi isu sensitif di Indonesia. Di medsos, banyak akun-akun palsu yang sering menampilkan komentar pedas dan tak jarang menyinggung soal SARA. Hal inilah yang menjadi ancaman bagi masyarakat khususnya anak muda. Banyak anak-anak muda yang sudah memegang ponsel pintar di tangan mereka lalu dengan mudah mengakses internet. Pemahaman dan didikan keluarga yang  kurang apalagi perhatian dari keluarga yang minim menjadikan medsos alat yang ampuh dalam menghancurkan pemikiran mereka.

Belum lama kemarin, saat Pilkada Jakarta, banyak berita simpang siur yang beredar, dan disini dapat dilihat efek dari medsos bagi generasi muda Indonesia. Dimana yang mengejutkan, beberapa anak kecil sudah berani dengan lantang menyerukan ancaman bahkan ajakan untuk membunuh kelompok masyarakat minoritas. Hal itu juga sejalan dengan orang tua mereka yang ikut mengajari anak mereka untuk berbuat demikian. Terlepas dari segala hal politik dan SARA, terbukti bahwa medsos adalah alat ampuh dalam menghancurkan generasi penerus bangsa. Untuk itulah kenapa banyak pihak mengatakan betapa perlunya pendidikan yang baik untuk mengangkat suatu negara agar menjadi lebih maju.    

                Akhir kata, setelah Indonesia memasuki era reformasi, ternyata masih sangat banyak tugas yang harus dituntaskan oleh pemerintah. Salah satunya adalah bagaimana menaikkan tingkat pendidikan serta minat baca masyarakat Indonesia yang terbilang cukup rendah, bahkan  jika dibandingkan dengan negara tetangga. Selain itu, diperlukan pula sikap untuk mengambil suatu informasi dari beberapa sumber netral untuk membuktikan keabsahannya agar masyarakat tidak mudah termakan isu hoax.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun