Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan dari Malmedy 34 : Neraka di Stasiun Utrecht

16 April 2012   14:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:32 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1334585069148116880

EPISODE 33 : TARIAN GYPSY bisa dibaca di sini

EPISODE 34 : NERAKA DI STASIUN UTRECHT

Gitar didentangkan dengan gerakan cepat dan mantap. Penari mulai meliuk-likkan tubuh. Mirip gerakan tarian Spanyol. Tapi yang ini lebih bervariasai dan melibatkan hampir seluruh tubuh termasuk buah dada. Zaldy takjub sekali melihatnya, terutama pada saat-saat penari itu mengangkat tinggi-tinggi kakinya, atau pada saat membuat gerakan membungkuk.

”Selama ini aku melihat mereka cuma sebagai gelandangan dan tukang kutil. Rupanya kesenian mereka tinggi juga,” celetuk Zaldy.

Keringat membanjiri tubuh penari. Gerakannya semakin cepat dan dinamis. Lincah sekali. Otot-otot di dada dan di leher seolah dikerahkan untuk menyajikan tarian itu. Memang terasa ada getar penghayatan yang memerlukan konsentrasi seluruh bagian dari sukma penari. Mata sang penari tajam mengikuti gerak kedua tangan yang masing-masingmenjepit sehelai saputangan berwarna merah darah. Sesekali ia memejamkan mata, dan sesekali ia menggigit bibirnya, sambil mennengadah, membiarkan dagunya yang jenjang dinikmati penonton.

Pitra tahu ini bukan dibuat-buat. Penari itu seperti mulai dalam keadaan trans, seperti yang terjadi pada penari reog Ponorogo yang mampu mengunyah pecahan kaca.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja mata wanita itu menengang, bibirnya gemetar keras, diikuti matanya yang meredup perlahan dan gerakan yang cenderung lunglai, tampak nyaris tanpa tenaga. Selebihnya, ia semakin lunglai, lemah dan akhirnya ambruk di lantai. Penonton terkesima. Sang pemimpin melihat penari dengan puas. Zaldy memperkirakan ini bagian dari tari tersebut.

Kelompok gipsy itu membiarkan penari terkulai bersimbah keringat di lantai. Dua pucuk saputangan merah tetap erat di genggamannya. Sang pemimpin kemudian menunjukkan seorang wanita tua yang sibuk mengocok kartu.

”Hadirin. perkenalkan, Arna, ahli nujum kami. Roh nenek moyang telah berkunjung. Arna akan menerawangkanm peruntungan Anda lewat kartu Tarot itu. Pergunakanlah kesempatan langka ini, ”sang pemimpin berpromosi. Sementara itu, Arna mulai menebar beberapa lembar kartu dihadapannya.

Zaldy sempat melihat wanita tua itu memiliki kuku yang amat panjang dan mata yang menyeramkan. Giginya nyaris semua hitam dan mulutnya tak henti berkomat-kamit.

”Saya ingin diramal,” tiba-tiba seorang bapak mengangkattangan. Ia juga mengangsurkan uang 10 gulden untuk pembayaran.

Sang pemimpin menjemput uang itu dan membimbing orang itu ke hadapan Arna.

”Arna, mintalah roh agung mengucapkan peruntungan bapak yang baik ini, ”Duduklah di sini,” Arna menunjukkan tempat kosong dihadapannya dengan

suara parau. Ia kemudian sibuk dengan kartu Tarotnya. Beberapa buah kartu Tarot ditebar membentuk lingkaran dengan satu kartu tertelungkup di tengah lingkaran.

”Ini roda peruntunganmu,” tutur Arna. Suaranya jelek sekali. Sambil tak henti-hentinya berkomat-kamit, Arna menyiapkan satu kartu lagi yang sedianya akan diletakkan menyilang di atas kartu yang terletak di tengah.

Tapi, tiba-tiba saja Arna menjerit histeris. Matanya menegang dan mulutnya menganga.

”Uaaahhhhhhh...jarum Kalugatii...jarum iblis itu!” matanya mendadak nyalang dan kukunya yang panjang menunjuk Karin yang berdiri di antara kerumunan. Semula penonton mengira ini bagian dari proses nujum itu. Penonton bertepuk tangan. Tapi Arna mendelik terus dan sang pemimpin serta anggota gypsy yang lain memandang Karin dengan wajah kuatir.

”Jarum itu...jarum kebangkitan makhluk bengis Inrenanu!” Arna berteriak keras. Mulutnya berbusa dan telunjuknya menuding Karin.

Penonton mulai gusar. Sang pemimpin mendekati Karin.

”Wanita itu...wanita itu membawa jarum iblis!”pekik Arna. Kini kerumunan memandang Karin.

”Kau memiliki jarum pembawa bencana itu? Arna dapat melihatnya!” sang pemimpin mendengus ke arah Karin. Wajahnya berubah tak bersahabat.

Karin jadi tak enak berdiri. Inilah saat yang tepat untuk menjelaskan ancaman itu kepada orang-orang gypsy ini. Mereka harus tahu bahaya yang mengancam.

”Kenapa penujum itu ia bisa tahu?” Zaldy heran.

”Entahlah...aku sendiri...ah, perasaanku jadi aneh!” Karin mundur. Sang pemimpin mendesaknya mundur.

”Katakan iblis macam apa kau ini?” hardik sang pemimpin.

Pitra tak suka situasi ini. Cepat ia mengambil tempat yang enak untuk menahan kalau-kalau sang pemimpin gypsy ini mulai unjuk kekerasan.

Tapi, pada saat itu mendadak kerumunan berteriak histeris dan bubar. Sebuah bola lampu sebesar bola basket yang digantung di atas tiba-tiba meluncur deras ke bawah.

Bola lampu itu pecah berkeping-keping begitu menghantam lantai dan memuncratkan asap tebal berwarna kelam. Dari balik asap itu, bertebaran sinar terang berwarna-warni yang perlahan tapi pasti membentuk sesosok tubuh berjubah kelam dengan rambut panjang.

”Inrenanu!” pekik Karin. Pitra dan Zaldy terkesima. Mendadak suasana jadi tegang.

”Kalian orang-orang gipsy, menyingkir. Pergi jauh-jauh!” seru Karin. Sigap ia menjepit jarum Kalugatii di telunjuk dan ibu jari kanan. Karin sesungguhnya tak tahu apa yang akan dilakukan dengan jarum itu. Tapi nalurinya mengatakan itulah satu-satunya senjata untuk merobohkan Inrenanu.

Iblis betina berwajah pria itu memandang lurus Karin, tanpa guratan gentar. Baginya, jarum Kalugatii seolah tak memiliki arti lagi.

”Kau menghalangi aku!” suara Inrenanu berseru parau. Gigi-giginya yang seram gemeletuk dari balik bibir yang berbuih.

”Pergi! Pergi! Menyingkir!” Pitra mencoba menghalau kerumunan. Kawanan gypsy semburat ke segala arah. Demikian pula kerumunan penonton yang ngeri menyaksikan sosok Inrenanu.

Tergopoh-gopoh pula Pitra menghalau kerumunan dan setiap orang yang mendekat.

”Panggil petugas keamanan. Ini gawat!”

”Astaga! Makhluk apa itu?” pekik beberapa orang.

”Kakinya tak menginjak lantai!”

”Seperti hantu!”

”Baunya busuk sekali!”

”Minggir-minggir! Tinggalkan tempat ini! Selamatkan diri kalian!” Pitra berteriak-teriak sambil mengibaskan tangan. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja Inrenanu menghentakkan kedua tangan ke arah segerumbul orang gypsy yang berlarian panik. Tombak api berlomba-lomba meluncur ke arah sejumlah orang gypsy itu. Sejumlah orang terjerambab bersamaan. Orang-orang malang itu berteriak kesakitan dan bergelimpangan dengan kobaran api dan darah yang muncrat ke mana-mana. Beberapa pengunjung toko juga tersambar dan tubuh-tubuhnya menabrak deras jendela kaca kaca pertokoan.

Inrenanu mengejar terus dengan langkah ringan tapi pasti. Pitra sempat melihat empat wanita gypsy melarikan diri dan masuk toko buku Bruna.

”Gila! Banyak orang dalam toko buku itu!” panik Pitra menyusul ke toko buku itu. Tapi terlambat. Kembali Inrenanu menyemburkan hawa panas lewat tombak-tombak api ke arah wanita-wanita gypsy itu.

”Rasakan pembalasanku!” teriak Inrenanu.

Dua gypsy berkelonjotan saat api menghantam mereka. Buku-buku, koran dan majalah serta alat tulis di toko itu berhamburan. Dinding toko ambrol dan atapnya mencuat ke atas. Orang –orang berteriak panik melihat api yang menjalar diikuti runtuhnya beberapa bagian bangunan. Darah banyak sekali terpecik di lantai.

Karin meloncat menyongsong Inrenanu dengan jarum terhunus. Ia memilih tengkuk Inrenanu, dengan harapan itulah bagian rahasia tubuh Inreananu.

Hanya dua meter lagi dari tengkuk Inrenanu ketika langkahnya terhenti seorang gadis kecil persis di depannya. Gadis itu memandangnya. Gadis kecil gypsy.

”Andra!...ayo minggir!” bentak Karin. Gadis itu bergeming. Tapi mulutnya mengucapkan sesuatu.

”Suiker en honig!” ucap bibir Andra.

Karin tak sempat mendengar ucapan gadis itu. Sebab, pada saat itu juga Inrenanu menoleh dan memandangnya.

”Gawat!” pekik Karin. Cepat ia menyambar Andra menjauh.

”Pitra, cepat singkirkan anak ini!”

Pitra segera mengambil alih Andra. Digendongnya anak itu berlari menjauh.

”Suiker en honig!” ujar Andra keras.

”Kamu ngomong apa?” tanya Pitra dalam bahasa Inggris.

”Suiker en honig!”

”Edan! Ini bahasa Belanda,” Pitra membopong andra ke sebuah koridor. ”Dimana kau, Zaldy? Anak ini ngomong apa?”

”Suiker en honig! Suiker en honig! ”

”Aku tahu kau mengucapkan sesuatu. Tapi aku tak tahu artinya,” ujar Pitra.

”Setan alas! Tombak api!” mati-matian Pitra membawa gadis kecil itu menghindar. Bola api menggelegar di sampingnya melabrak pilar besi. Teriakkan semakin riuh tatkala pilar besi itu rubuh diikuti atap stasiun yang luruh ke bawah. Bagian atap yang terbuat dari kaca tebal satu persatu berjatuhan. Pecahannya sumamburat kemana-mana, menimbulkan gelegar yang teramat hebat.

”Bajingan ini tak pandang bulu! Anak kecil disantap juga!” amarah Pitra memuncak. Tapi ketika ia menoleh, ia menyadari posisinya. Pitra kini tengah berada disebuah cekungan sempit yang tak memungkinkan ia menghindar bila ada serangan mendadak. Keringat Pitra bercucuran. Gadis kecil itu menatap Inrenanu yang mendekati Pitra. Mana mungkin bagi Pitra untuk menghindar. Ini benar-benar mengerikan.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun