Entah mengapa begitu encer ide yang berkembang di otakku. Ketika aku modus dihadapan Wati, seakan Tuhan memberikan keringanan dan jalan keluar yang begitu cepat. Mungkin Tuhan ingin aku memecahkan teka teki peristiwa aneh yang beberapa waktu lalu sempat membuat warga desa menjauh dariNya. Atau ada rahasia Tuhan yang minta aku sibak untuk membuktikan bahwa Tuhan Maha Kuasa atas apa yang terjadi pada hambaNya.
Semilir angin di jalanan menurun sangat terasa. Namun bau anyir sisa sisa sesembahan dua hari yang lalu masih menguak ke rongga hidung. Merangsang lambungku untuk mengeluarkan sesuatu. Namun aku tahan agar tak sampai membuat tubuh ini kehilangan energi yang tak berguna untuk perjalanan. Kututup hidung seadanya dengan kain planel bajuku untuk mengurangi aroma tak sedap yang semakin lama semakin mendekati hidungku saja.
"Uh... Bau apa ini." Rudi menutup hidung dan mulutnya dengan telapak tangan kiri.
"Sisa sampah acara bersih Kampung yang lalu."
"Pekerjaan yang sia sia." Rudi menggerutu sambil kakinya perlahan menuruni tangga tanah alami di antara rimbun semak belukar dan pohon jati.
Begitu banyak sampah sisa acara ritual yang berserakan tak terpungut oleh tangan tangan sadar. Botol plastik, kantongan bahkan sampah potongan kayu masih berserakan di kanan kiri jalan.
"Bud, coba lihat di sana. Benda apa itu?"Â Tangan Rudi menunjuk ke anak sungai yang masih menyumbangkan suara gemericiknya diantara tiupan angin hutan.
"Cepetan turunnya." Aku semakin antusias menuruni tangga tanah di hadapanku yang masih terhalang tubuhnya Rudi.
Sesampainya di tepi sungai dan dapat memandang dengan jelas benda benda yang mengapung di atas permukaan air itu, kami pun terperanjat kaget.
"Astaga, Rud. Banyaknya ikan yang mati."
"Ini pasti karena sampah sesembahan yang mengendap di dasar sungai. Baunya aja nggak enak gini. Apalagi airnya. Ikan aja sampai mabuk dan mati."