Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Malam Jumat (13)

6 Desember 2019   19:43 Diperbarui: 6 Desember 2019   20:10 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat siang, ketika matahari tepat memanggang ubun ubun kepala, warga desa mengadakan tradisi bersih desa. Dengan iringan Gending, arak arakan pembawa tampah berisi sesaji semakin mendekati sungai.

Desir angin membawa suara air yang terhempas di bebatuan dekat lembah sampai ke telingaku. Begitu damai dan nyaman. Namun mengapa aromanya begitu membuatku mual dan pusing? Apa gerangan yang ada di bawah sana?

Terdengar dari bisik bisik beberapa warga yang ada di depan dan belakang barisanku bahwasanya mereka sudah sering mencium aroma tak tak sedap ini. Namun seiring berjalannya waktu, aroma ini pun akan hilang dengan sendirinya.

Mereka mengatakan ini adalah aroma penghuni hutan yang melewati sungai untuk mencari makan. Arg... lagi lagi mereka lebih meyakini hal mitos bagiku dari pada hal hal yang lebih logis secara keilmuan.

Lembah tak terlalu curam berhasil kulalui hingga kudapati hamparan air di bebatuan. Betul kata Wati, sungainya dangkal. Dasarnya yang dihiasi bebatuan masih dapat terlihat meskipun airnya berwarna agak kecoklatan. 

Banyaknya batu besar di tepi dan tengah sungai beraliran deras itu menciptakan jeram. Tak cocok memang untuk berenang apalagi menyelam. Tapi mengapa ada bau yang menyengat masuk ke lubang hidungku? Dari manakah asal aroma itu berasal?

Tampaknya tetua desa tak memperhatikan hal tersebut. Bahkan warga tak mengkhawatirkan peristiwa itu. Karena yang berkembang di dalam pikiran mereka hal mistis yang tak bisa dicerna otakku. Fokus mereka adalah menjalankan tradisi adat agar bala bencana dapat pergi dari desa.

"Wati, kamu mencium aroma menyengat ini, nggak?"

"St... St... St...." Wati menjawab pertanyaanku dengan perintah agar aku diam.

Oke, kali ini kuikuti maumu, Wati. Mulutku akan diam mengikuti serangkaian acara ini. Tapi tak bisa kau paksa otakku hilang kesadarannya. Dalam diam aku masih terus berpikir. Kuputar pandanganku ke sekeliling sungai untuk mendapatkan petunjuk penting.

Kulihat daun yang bergoyang untuk melihat arah angin. Kulihat wajah wajah semua orang, mungkin saja ada yang berbeda dalam hening. Hanya suara tetua desa yang merapal doa atau mantra guna mengusir bencana desa.

Kulihat semua persembahan di larung pada aliran sungai yang cukup deras itu. Hasil bumi para petani, hasil kandang para peternak, makanan dan minuman yang sebenarnya sayang untuk dibuang.

Bahkan darah segar dari hewan hewan tadi terlebih dahulu di larung ke sungai sebelum tubuhnya dibenamkan dalam derasnya jeram. Aku hanya bisa menahan diri tanpa ada ucapan. Hingga dalam perjalanan pulang, kulepaskan semua kepenatan mulut ini sebab menahan ucapan.

"Wati, kamu mencium aroma menyengat di sungai tadi nggak?"

"Itu sudah biasa dalam beberapa bulan ini."

"Jadi sebelumnya nggak pernah ada?"

"Dulu memang tidak pernah ada. Aroma hutan, aroma tanah basah yang khas  dan sungailah yang biasa tercium oleh kita."

"Pasti ada yang tidak beres di desa ini."

"Yang tidak beres sudah dibereskan. Jadi dalam beberapa hari kedepan, kejadian kejadian kemarin pasti akan hilang."

"Kamu juga percaya bahwa aroma ini berasal dari penghuni hutan yang mencari makan?"

"Memangnya kenapa? Bukankah Tuhan juga menciptakan mereka untuk hidup berdampingan dengan kita?"

Urgg... kalau sudah berdebat dengan gadis manis ini, aku pastilah kalah. Karena aku bukanlah ustadz yang tahu dalil dalil sahih untuk mematahkan kepercayaannya. Aku juga tak punya bukti yang dapat kuperlihatkan pada Wati bahwa apa yang dipercayainya itu salah. Dari pada Wati marah, lebih baik kusudahi pembahasan itu dan melemparkan senyuman termanis buatnya.

Bersambung

Salam hangat salam literasi😊🙏
Love and peace😁✌️
EcyEcy; Benuo Taka, 6 Desember 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun