Mohon tunggu...
EcyEcy
EcyEcy Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Sejatinya belajar itu sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Malam Jumat (7)

25 Oktober 2019   14:44 Diperbarui: 25 Oktober 2019   14:53 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desa tepi hutan itu sedang dilanda bala. Dimana dalam beberapa hari ini sudah sekitar belasan hewan ternak mereka mati tanpa diketahui sebabnya. Bahkan anjing penjaga di base camp tempat kami berteduh selama praktik kerja lapang pun mati tiba tiba.

Kisah sebelumnya

Isu yang beredar dari mulut ke mulut warga pun hampir sama. Ada yang melanggar pantangan sehingga penghuni hutan marah dan akhirnya meminta tumbal. Saat ini memang hewan ternak yang mati secara bersamaan. Tapi bisa saja nantinya tumbal yang diminta merembet ke manusia.

Bahkan kami berdua seakan jadi tersangka saja. Setiap berada diantara warga desa, mereka memandang kami tak suka. Setiap kami lewat di depan warga, mereka berbisik bisik sambil menjauhi kita. Hanya Wati saja yang masih setia menemani kami. Nggak tau juga kenapa? Atau mungkin Wati naksir diantara kami berdua?

Semua warga desa mulai resah. Angin sepoi membawa berita kematian yang begitu tajam. Hawanya membuat desa itu beraroma mencekam. Sehingga perlu dilakukan tolak bala untuk memutus kematian berantai dan mengembalikan kehidupan warga seperti dulu lagi.

Alhasil, berkumpul lah tetua desa untuk membicarakan tindak lanjut yang harus mereka lakukan agar bencana ini tak datang berlarut larut. Dari hasil musyawarah dan berdasarkan adat nenek moyang, maka akan dilarung ke sungai beberapa hasil bumi seperti biji bijian, buah buahan, sayur sayuran dan hewan ternak dalam bentuk seserahan.

"Apa hubungannya semua benda benda itu dengan kematian hewan ternak? Mana ada. Masyarakat hanya terlalu percaya dengan mitos." Rudi geram setelah Pak RT datang dan mengundang kami semua pada acara pembersihan kampung dengan menggunakan sesajian.

"Tapi itu sudah tradisi mereka. Kita hanya pendatang di sini. Jadi tak patut mengatur adat dan tradisi yang sudah turun menurun mereka yakini." Guntur mencoba mengingatkan Rudi bahwa kita bukan orang lama di desa itu.

"Syirik itu." Dengan nada sedikit ngegas, Rudi mengucapkan kata yang aku sebenarnya tak begitu paham juga.

"Apa yang kamu tau tentang syirik? Sholat aja masih bolong bolong mau sok ngajarin orang. Nggak usahlah!" Guntur mulai terpancing pula emosinya.

Tak ingin suasana memanas, aku tarik saja tangan Rudi tuk menjauh dari Guntur yang sudah mulai marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun