Aku hanyalah sosok gadis remaja yang belum mengenal cinta. Untuk janjian dengan teman lelaki saja aku takut apalagi untuk pacaran. Bukan saja karena ayahku yang sedikit sangar bagi sebagian orang, tapi karena diriku tak siap untuk dicampakkan. Mengingat betapa hancurnya hati sahabatku ketika ditinggalkan oleh kekasih yang melakukan pengkhianatan. Jadi, prinsipku, sekolah dulu, kelak akan datang jodoh yang akan diberikan Tuhan.
Namun sejak hari itu, sepertinya prinsipku mulai goyah. Bayangan dirinya di atas kuda binal itu begitu mempesona. Tak ada yang terlewatkan dalam setiap sisi imajinasiku tentangnya. Tentang kebaikan hatinya. Tentang senyuman menawannya. Tentang paras wajah tampannya. Bahkan tentang kata demi kata yang diucapkannya. Seakan terekam jelas dalam otakku. Hingga aku bisa senyum senyum sendiri ketika membayangkannya.
"Ahh...." Aku memekik kesakitan ketika motor itu menyerempetku tepat di tikungan jalan dekat sekolah.
Teman sekolah, bapak dan ibu guru berhamburan menghampiriku yang terduduk di aspal dengan kaki berdarah. Kulihat lelaki sialan itu menepikan motor bututnya, lalu berlari ke arahku, berlutut di sampingku sambil berkali-kali mengucapkan kata maaf.
"Maafkan aku. Aku tak sengaja. Rem kuda binalku tiba-tiba tak berfungsi dengan baik. " Begitulah ucapan penyesalan yang keluar dari mulutnya sambil menunjuk motor butut kepunyaannya. Tatapannya begitu dalam dan meneduhkan. Tuturnya begitu santun lagi tulus. Dan aku pun terpesona.
"Iya, nggak apa apa, kok. Cuma lecet sedikit," ujarku sambil menghapus darah yang mengalir di kaki kananku dengan rok sekolah.
"Biar kuantar kamu ke rumah sakit." Dia menawarkan diri karena rasa bersalah.
"Nggak usah, aku bisa pulang sendiri."
"Sebagai permintaan maafku sekaligus tanggung jawabku. Tak mungkin kubiarkan kamu pulang ke rumah dengan kondisi seperti ini." Dia menuntunku untuk berdiri. Hangat tangannya menjalar ke tanganku. Rasanya begitu damai. Nyaman sekali. Hingga aku tak sadar kalau kakiku benar benar sakit dan terluka.
"Baiklah." Akhirnya aku pun luluh dan bersedia diantar pulang ke rumah saat itu.
Melihat jalan damai yang kami tempuh, teman dan guruku akhirnya bubar satu persatu tanpa mempermasalahkan kelanjutan kisahnya.