Pada level makroekonomi, Bank Indonesia (BI) berada dalam posisi dilematis yang sulit, seolah berjalan di atas tali titian antara mendukung pertumbuhan atau menjaga stabilitas. Di satu sisi, terdapat indikasi BI secara agresif memangkas suku bunga hingga ke level 5,00%, sebuah langkah yang dapat diinterpretasikan sebagai pengakuan implisit atas lemahnya ekonomi riil. Namun di sisi lain, data lain menunjukkan BI-Rate bertahan pada level yang "cukup ketat" di 5,75%. Suku bunga yang relatif tinggi ini membuat biaya pinjaman bagi perusahaan menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya dapat menahan laju investasi untuk ekspansi usaha dan menghambat rekrutmen tenaga kerja baru. Dilema kebijakan ini pada akhirnya menciptakan dampak paradoksal di pasar keuangan. Kebijakan moneter yang akomodatif---atau upaya untuk mempermudah akses pinjaman---memang berhasil mendorong kenaikan harga saham di IHSG karena suntikan likuiditas, tetapi di saat yang bersamaan juga justru memberikan tekanan pada nilai tukar Rupiah di tengah guncangan perekonomian global. Ini menciptakan sebuah kondisi tidak stabil di mana berita buruk dari ekonomi riil, seperti data PHK yang tinggi, justru menjadi kabar baik bagi pasar saham. Hal ini terjadi karena investor berspekulasi bahwa kondisi ekonomi yang lemah akan memaksa bank sentral untuk terus memberikan stimulus, yang pada akhirnya semakin memperlebar jurang antara keuntungan di pasar modal dengan kesejahteraan para pekerja.
Rangkaian analisis mengenai ilusi pemulihan, akar masalah struktural, komplikasi dari tren-tren baru, serta respons kebijakan yang tidak memadai, semuanya mengerucut pada sebuah kesimpulan akhir yang genting. Krisis di pasar tenaga kerja bukanlah sebuah isu yang terisolasi, melainkan pemicu dari efek domino yang mengancam stabilitas makroekonomi secara keseluruhan. Rangkaian masalah ini pada akhirnya membawa Indonesia ke sebuah momen penentuan: antara mewujudkan bonus demografi sebagai sebuah anugerah, atau membiarkannya berubah menjadi bencana demografi.
Rantai kausalitas dari efek domino ini sangatlah jelas. Pengangguran, stagnasi upah, dan dominasi pekerjaan berkualitas rendah secara langsung menyebabkan melemahnya daya beli rumah tangga. Bukti dari pelemahan konsumsi ini terlihat dari kecenderungan masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, untuk berhemat, yang diperkuat oleh munculnya fenomena deflasi tahunan, sebuah sinyal kuat dari permintaan domestik yang melemah. Ini menciptakan sebuah lingkaran setan ekonomi: daya beli yang lemah menekan permintaan domestik, yang kemudian menekan perusahaan di sektor padat karya. Perusahaan merespons dengan pengurangan tenaga kerja lebih lanjut, yang pada akhirnya semakin menekan daya beli dan meredam pertumbuhan ekonomi. Potensi bonus demografi mustahil terwujud jika mesin utama PDB, yaitu konsumsi rumah tangga, terganggu oleh kondisi pasar kerja yang bermasalah.
Di tengah realitas ekonomi yang suram ini, terjadi kesenjangan yang tajam dengan wacana politik. Janji Wakil Presiden untuk menciptakan 19 juta lapangan kerja baru menjadi contoh paling nyata dari jurang pemisah antara retorika dengan data. Analisis ekonom menunjukkan bahwa dengan tren saat ini, 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap sekitar 120 ribu pekerja. Ini berarti bahwa dalam lima tahun, angka yang realistis adalah terciptanya sekitar 3 juta lapangan kerja, bukan 19 juta. Ketidakrealistisan janji ini semakin diperparah oleh ancaman eksternal yang membayangi. Kegagalan dalam negosiasi untuk menghindari tarif impor dari Amerika Serikat berpotensi memicu gelombang PHK baru di sektor-sektor berorientasi ekspor, terutama jika Indonesia juga gagal mencari mitra dagang alternatif. Ekspansi industri yang saat ini masih terjadi dapat diartikan sebagai upaya jangka pendek untuk mengejar waktu sebelum tarif tersebut diberlakukan, bukan cerminan dari kesehatan fundamental. Janji yang tidak realistis ini pun tidak luput dari perhatian publik, yang sentimennya tecermin dari munculnya tagar protes seperti #KaburAjaDulu. Ini adalah sinyal berbahaya bahwa talenta-talenta terbaik bangsa mulai merasa tidak memiliki masa depan di negerinya sendiri, sebuah erosi kepercayaan yang dapat mempercepat pelarian sumber daya manusia berkualitas.
Pada akhirnya, jalan keluar dari jebakan jobless recovery ini menuntut sebuah paradigma baru yang didasari oleh sinergi dan pembagian tanggung jawab yang jelas antara semua pihak. Bagi pemerintah, fokus harus beralih dari kebijakan reaktif ke reformasi struktural proaktif yang menargetkan akar masalah: kualitas pendidikan, iklim investasi yang mendorong penciptaan kerja formal, dan perancangan ulang jaminan sosial agar bersifat universal dan portabel. Bagi sektor swasta, pandangan terhadap pelatihan SDM harus diubah dari biaya menjadi investasi strategis, dengan keterlibatan aktif dalam pendidikan vokasi mulai dari desain kurikulum hingga penyediaan program magang yang berkualitas. Terakhir, bagi lembaga pendidikan, reformasi kurikulum secara radikal agar relevan dan fokus pada pengajaran keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis dan pemecahan masalah adalah sebuah keharusan. Hanya dengan langkah-langkah strategis berbasis data dan analisis kritis inilah Indonesia dapat memastikan bahwa bonus demografi benar-benar menjadi sebuah keuntungan, bukan beban.
Daftar Pustaka
Anggela, N. L. (2025). BPS: Jumlah Pengangguran Bertambah Jadi 7,28 Juta Orang per Februari 2025. Diakses pada 27 Agustus 2025, dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250505/12/1874310/bps-jumlah-pengangguran-bertambah-jadi-728-juta-orang-per-februari-2025
ANTARA. (2022). BI dan Kemnaker perkuat standar kompetensi SDM sistem pembayaran. Diakses pada 29 Agustus 2025, dari https://www.antaranews.com/berita/3253349/bi-dan-kemnaker-perkuat-standar-kompetensi-sdm-sistem-pembayaran
ANTARA. (2025). BPS: Angka pengangguran di Indonesia naik 83 ribu pada Februari 2025. Diakses pada 27 Agustus 2025, dari https://www.antaranews.com/berita/4813617/bps-angka-pengangguran-di-indonesia-naik-83-ribu-pada-februari-2025
ANTARA Babel. (2025). Angka pengangguran di Indonesia naik 83 ribu pada Februari 2025. Diakses pada 27 Agustus 2025, dari https://babel.antaranews.com/berita/483793/angka-pengangguran-di-indonesia-naik-83-ribu-pada-februari-2025
Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,91 persen dan Rata-rata upah buruh sebesar 3,27 juta rupiah per bulan. Diakses pada 29 Agustus 2025, dari https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/11/05/2373/tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-4-91-persen-.html