Mohon tunggu...
ECOFINSC FEB UNDIP
ECOFINSC FEB UNDIP Mohon Tunggu... Economic Finance Study Club FEB UNDIP

ECOFINSC is a Student Organization Study Club focused on Economics and Finance at the Faculty of Economics and Business, Diponegoro University. Hubungi kami : linktr.ee/ecofinscfebundip2025

Selanjutnya

Tutup

Financial

Jebakan Jobless Recovery: Menganalisis Ancaman terhadap Bonus Demografi Indonesia

8 September 2025   18:58 Diperbarui: 8 September 2025   18:58 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Badan Pusat Statistik

Permasalahan yang terlihat di permukaan ini bukanlah sebuah kejadian acak, melainkan gejala dari persoalan ekonomi yang lebih mendasar. Kondisi pasar tenaga kerja Indonesia yang bermasalah berakar pada serangkaian kelemahan struktural yang sudah lama terbentuk dan saling berkaitan. Secara spesifik, terdapat tiga masalah mendasar yang menjadi penyebab utamanya: kesenjangan keterampilan yang masif antara dunia pendidikan dan industri, jebakan sektor informal yang terus membengkak, serta krisis pengangguran yang melanda generasi muda. Ketiga faktor inilah yang secara sistematis menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi gagal berbuah menjadi kesejahteraan yang merata.

Akar dari sebagian besar masalah ketenagakerjaan di Indonesia adalah adanya jurang pemisah yang lebar antara profil tenaga kerja yang tersedia dengan kebutuhan dunia industri modern di Indonesia. Dari sisi penawaran, struktur angkatan kerja nasional didominasi oleh tingkat pendidikan yang rendah, di mana sekitar 85% adalah lulusan SMA ke bawah dan hanya 12,66% yang merupakan lulusan universitas. Di sisi lain, permintaan di pasar kerja telah bergeser secara drastis, dengan industri kini sangat membutuhkan tenaga kerja berkeahlian teknologi seperti Analis Data, Spesialis AI/Machine Learning, dan Pemasaran Digital. Kesenjangan ini terjadi pada dua dimensi sekaligus: kesenjangan keterampilan teknis (hard skills), di mana mayoritas angkatan kerja memiliki keterampilan manual dasar sementara industri membutuhkan keahlian teknologi tinggi; dan kesenjangan keterampilan lunak (soft skills) seperti pemikiran analitis dan pemecahan masalah yang kompleks, yang belum menjadi fokus utama sistem pendidikan. Konsekuensinya sangat terlihat, lebih dari 30% perusahaan melaporkan kesulitan dalam merekrut sumber daya manusia berkualitas, yang pada akhirnya menciptakan pengangguran struktural dan menghambat realisasi potensi bonus demografi.

Akibat langsung dari ketidakselarasan ini adalah membengkaknya sektor informal sebagai konsekuensi dari kegagalan ekonomi formal dalam menyerap tenaga kerja secara memadai. Proporsi pekerja informal terus meningkat hingga mencapai 59,40% pada Februari 2025, setara dengan 86,55 juta individu yang bekerja tanpa jaminan kepastian kerja dan perlindungan sosial. Dalam konteks negara berkembang, dominasi sektor informal ini memainkan peran ganda yang kompleks; di satu sisi, ini menjadi pilar penopang vital yang menyerap angkatan kerja, tetapi di sisi lain sektor ini datang dengan konsekuensi kerentanan bagi para pekerjanya. Ketika ekonomi formal gagal menyediakan lapangan kerja yang cukup, sektor informal menjadi satu-satunya pilihan bagi jutaan orang untuk bertahan hidup. Ini bukanlah cerminan dari ekosistem kewirausahaan yang sehat, di mana orang memilih menjadi wirausaha karena melihat peluang, melainkan sebuah tempat penampungan yang lahir dari keterpaksaan. Fenomena ini menciptakan apa yang disebut sebagai dualisme pasar tenaga kerja: sebuah perekonomian yang terbelah menjadi sektor formal yang relatif kecil dan terlindungi, serta sektor informal yang sangat besar, rentan, dan berproduktivitas rendah. Implikasi jangka panjang dari dualisme ini sangat serius, karena menjebak jutaan pekerja dalam siklus pendapatan rendah, menghambat mobilitas sosial, serta menggerus basis pajak negara dan cakupan jaminan sosial.

Kelompok demografis yang paling terpukul oleh kedua patahan struktural di atas adalah kaum muda. Data menunjukkan adanya krisis pengangguran di kalangan Generasi Z, di mana tingkat pengangguran untuk kelompok usia 15-24 tahun mencapai level kritis di 16,16%, sangat kontras jika dibandingkan dengan kelompok usia produktif utama yang hanya 3,04%. Ironi terbesar dari kegagalan sistemik ini datang dari lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Institusi yang secara khusus dirancang untuk menghasilkan tenaga kerja siap pakai ini justru mencatatkan tingkat pengangguran sebesar 8,62%, bahkan lebih tinggi dari lulusan SMA. Kegagalan ini memaksa banyak anak muda untuk masuk ke dalam gig economy yang rentan, seperti menjadi pengemudi ojek online, sebagai strategi bertahan hidup tanpa jenjang karier atau jaminan sosial. Krisis ini bukanlah cerminan dari kemalasan Gen Z, melainkan menunjukkan adanya kegagalan yang serius dalam transisi dari sekolah ke dunia kerja (school-to-work transition), yang berakar pada ketidakselarasan fundamental antara dunia pendidikan dan dunia industri.

Kelemahan-kelemahan struktural yang telah lama ada kini berhadapan dengan kekuatan transformatif dari era modern. Tren global seperti digitalisasi dan transisi menuju ekonomi hijau, serta proyek ambisius nasional seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), seringkali dipandang sebagai solusi. Namun, tren-tren baru ini justru berinteraksi secara kompleks dengan masalah yang sudah ada. Alih-alih menjadi solusi otomatis, kekuatan-kekuatan baru ini seringkali berfungsi sebagai pedang bermata dua yang dapat mempercepat pertumbuhan bagi segelintir orang, sekaligus memperburuk ketidaksetaraan dan menambah lapisan komplikasi baru bagi mayoritas angkatan kerja.

Revolusi digital merupakan kekuatan disrupsi paling signifikan yang dihadapi pasar kerja saat ini, menciptakan peluang besar sekaligus risiko yang substansial. Di satu sisi, ekonomi digital diproyeksikan menjadi mesin penciptaan lapangan kerja baru yang kuat, dengan potensi membuka hingga 3,7 juta pekerjaan tambahan pada tahun 2025, yang memicu lonjakan permintaan untuk sumber daya manusia dengan keahlian spesifik di bidang Analisis Data dan Kecerdasan Buatan (AI). Namun, di sisi lain, digitalisasi dan otomatisasi membawa ancaman nyata terhadap pekerjaan-pekerjaan yang bersifat rutin, seperti di bidang administratif dan perakitan pabrik, yang berisiko tinggi untuk digantikan oleh teknologi. Di antara dua ekstrem ini, muncul fenomena gig economy yang menawarkan fleksibilitas, tetapi seringkali mengorbankan stabilitas dan perlindungan sosial. Secara keseluruhan, revolusi digital berisiko menciptakan polarisasi di pasar kerja, membentuk struktur yang menyerupai "barbel"---sebuah metafora untuk pasar kerja yang "kopong" di bagian tengah, di mana hanya ada segelintir elite pekerja berketerampilan tinggi dengan upah besar di satu ujung, dan massa pekerja berketerampilan rendah yang tergeser ke pekerjaan jasa berupah rendah atau pekerjaan gig yang rentan di ujung lainnya.

Seiring dengan disrupsi digital, gelombang transformasi lain yang menjanjikan masa depan cerah adalah transisi menuju ekonomi hijau. Pemerintah telah mengidentifikasi pengembangan green jobs sebagai salah satu strategi ketenagakerjaan masa depan, dengan proyeksi menjanjikan seperti potensi penyerapan lebih dari 760 ribu pekerjaan hijau dari rencana strategis PLN untuk periode 2025-2030. Namun, analisis terhadap proyek-proyek yang sudah berjalan memberikan gambaran yang lebih kompleks dan menantang. Studi kasus pada proyek besar seperti PLTS Terapung Cirata menunjukkan bahwa meskipun menyerap sekitar 800 tenaga kerja, mayoritas besar berada pada fase konstruksi yang bersifat temporer, dengan jumlah pekerjaan permanen yang jauh lebih kecil. Sementara itu, proyek PLTP Sarulla yang menyerap total 3.470 pekerja memperlihatkan adanya kesenjangan keterampilan yang signifikan; data menunjukkan hanya 55,79% yang merupakan tenaga kerja lokal, sementara sisanya harus didatangkan dari luar daerah dan luar negeri untuk mengisi posisi-posisi teknis. Kedua contoh ini menyoroti bahwa tanpa adanya program penyiapan dan peningkatan keterampilan yang terintegrasi bagi masyarakat lokal, ada risiko besar bahwa pekerjaan-pekerjaan berkualitas dalam ekonomi hijau akan diisi oleh tenaga kerja dari luar, menjadikan Indonesia hanya sebagai pasar bagi teknologi dan tenaga ahli impor.

Jika ekonomi digital dan hijau adalah tren global yang memengaruhi banyak negara, maka manifestasi paling konkret dari ambisi pembangunan nasional adalah proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Pembangunan IKN di Kalimantan Timur merupakan contoh paling nyata bagaimana sebuah proyek raksasa, jika tidak direncanakan secara inklusif, dapat menciptakan apa yang disebut sebagai "ekonomi kantong" (enclave economy). Di permukaan, proyek ini memang memberikan imbas positif, terbukti dari penurunan tingkat pengangguran di daerah terdampak langsung dan pertumbuhan sektor konstruksi lokal yang masif hingga 89,82%. Namun, analisis yang lebih mendalam menunjukkan adanya "kebocoran" manfaat ekonomi yang signifikan. Sebuah studi kasus pada proyek pendukung di Balikpapan memperlihatkan bahwa dari 20.000 pekerja yang terserap, hanya sekitar 30% yang berasal dari tenaga kerja lokal, sementara 70% sisanya didatangkan dari luar Kalimantan Timur, terutama dari Pulau Jawa. Meskipun IKN memiliki potensi besar untuk menjadi pusat ekonomi baru di masa depan dan memberikan efek domino (spillover effect) pembangunan ke seluruh Kalimantan, realisasi potensi ini dihadapkan pada sejumlah ancaman serius. Di level implementasi, kegagalan dalam perencanaan yang terintegrasi, khususnya kurangnya program penyiapan sumber daya manusia lokal yang dilakukan secara proaktif, berisiko membuat masyarakat setempat hanya menjadi penonton dan justru memperlebar kesenjangan regional. Lebih jauh lagi, dari sisi makro, keberlanjutan proyek ini juga dipertanyakan di tengah kondisi defisit anggaran dan kemungkinan pergeseran prioritas fiskal pemerintah. Risiko bahwa pembangunan IKN akan mangkrak atau tertunda secara signifikan menjadi faktor ketidakpastian yang membayangi janji-janji ekonomi jangka panjangnya.

Menghadapi krisis ketenagakerjaan yang kompleks dan berlapis, pemerintah dan bank sentral telah meluncurkan serangkaian respons kebijakan. Namun, evaluasi yang lebih mendalam menunjukkan adanya kesenjangan yang lebar antara niat baik sebuah kebijakan dengan realitas implementasinya yang seringkali tidak efektif. Alih-alih menyentuh akar permasalahan, respons yang ada saat ini cenderung bersifat parsial, reaktif, dan terkadang justru menciptakan paradoksnya sendiri.

Kerangka regulasi utama seperti Undang-Undang Cipta Kerja dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas bagi dunia usaha, tetapi di sisi lain menuai kritik karena dinilai melemahkan proteksi bagi buruh. Di luar perdebatan tersebut, instrumen jaring pengaman sosial baru, yaitu Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), menjadi studi kasus utama kegagalan implementasi. Secara teori, program ini sangat ideal; memberikan manfaat uang tunai bagi pekerja yang ter-PHK sebesar 60% dari upah terakhir selama maksimal enam bulan. Namun, kegagalan mendasarnya terletak pada desainnya yang eksklusif. Program ini pada dasarnya dirancang hanya untuk pekerja formal yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, yang secara efektif mengabaikan mayoritas pekerja informal yang jumlahnya mencapai 59,40%. Bahkan di dalam sektor formal sendiri, cakupan dan sosialisasi program ini masih sangat terbatas, sehingga banyak pekerja belum siap atau tidak bisa memanfaatkannya. Arah kebijakan ini pada akhirnya bersifat reaktif, lebih berfungsi sebagai solusi sementara yang mengobati gejala dengan memberi santunan setelah PHK terjadi, daripada menyembuhkan penyakit utamanya.

Di sisi intervensi yang lebih proaktif, inisiatif pemerintah untuk menangani krisis dan meningkatkan keterampilan juga seringkali terhambat oleh birokrasi dan ketidakselarasan. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan PHK lintas kementerian, misalnya, dimaksudkan untuk menjadi forum cepat tanggap. Namun, efektivitasnya belum optimal karena masih menunggu penetapan atau keputusan presiden untuk bisa bekerja penuh. Sementara itu, program-program peningkatan keterampilan seperti Kartu Prakerja dan Digital Talent Scholarship yang menjadi andalan pemerintah juga tidak luput dari kritik tajam. Masalah klasiknya adalah ketidakselarasan, di mana supply pelatihan yang tersedia seringkali tidak sinkron dengan demand atau kebutuhan riil industri. Program-program ini juga terkadang dianggap hanya bersifat formalitas tanpa ada penempatan kerja yang nyata, dan efektivitasnya semakin dilemahkan oleh koordinasi lintas lembaga yang masih terbentur birokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun