Mohon tunggu...
Yus Rusila Noor
Yus Rusila Noor Mohon Tunggu... Pekerja Lingkungan

Saya adalah seorang yang sedang belajar. Bagi saya, hidup itu adalah proses belajar, dan belajar itu adalah proses seumur hidup .... Iqra

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Warna, Realitas dan Kesepakatan. Sebuah Renungan tentang Dunia yang Kita Ciptakan

9 Oktober 2025   15:32 Diperbarui: 9 Oktober 2025   15:32 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam setiap Warna Kita Menemukan Keteraturan dan Kebingungan sekaligus (Foto: Yus Rusila Noor)

Yus Rusila Noor

yus.noor@gmail.com

 

"Colours are the deeds and sufferings of light."
--- Johann Wolfgang von Goethe

Saya tidak tahu kenapa "warna" sudah cukup lama mengisi benak pikiran saya, hingga suatu sore, ketika matahari mulai condong di balik kaca jendela, cahaya keemasan menembus kisi-kisi tirai, menari di dinding, memantul di permukaan meja. Ada momen hening ketika warna tampak begitu hidup, bukan sekadar benda yang terlihat, tetapi seperti bahasa yang berbicara kepada batin. Dalam cahaya yang berubah-ubah itu, saya tiba-tiba bergumam, "Apa yang disebut warna? Sejak kapan warna ada? Apakah warna memang nyata, ataukah hanya tafsir dari mata manusia"?

Pertanyaan sederhana itu ternyata membawa saya berjalan jauh, menembus batas fisika, estetika, hingga filsafat. Karena sesungguhnya, saya menduga bahwa warna tidak pernah berdiri sendiri. Ia lahir dari cahaya, dari getaran panjang gelombang yang menembus retina dan diterjemahkan oleh otak menjadi makna visual. Dalam dunia ilmiah, warna adalah persepsi, bukan substansi. Ia tidak menempel pada benda, tetapi hidup di antara cahaya dan kesadaran. Tanpa cahaya, tidak ada warna; tanpa mata yang menatap, warna kehilangan nama atau dalam bahasa yang lebih ilmiah disebutkan bahwa warna bukanlah sifat yang melekat pada objek itu sendiri, melainkan konstruksi perseptual yang muncul dari cara sistem visual kita menafsirkan panjang gelombang cahaya.

Namun, manusia selalu berusaha memberi nama pada hal-hal yang tak terpegang. Kita menyebut merah, biru, hijau, putih, seolah-olah itu sesuatu yang pasti dan universal. Padahal, bagi sebagian masyarakat kuno, biru bahkan tidak dikenal. Dalam The Odyssey, Homer menggambarkan lautan bukan sebagai biru, melainkan sebagai "anggur yang gelap". Di beberapa budaya, satu kata bisa mewakili seluruh spektrum warna yang bagi kita berbeda. Maka, "warna" ternyata bukan hanya persoalan fisika, melainkan juga budaya, sebuah kesepakatan sosial yang lahir dari bahasa, pengalaman, dan sejarah kolektif. Dalam setiap warna, kita menemukan keteraturan dan kebingungan sekaligus.

Dari sinilah muncul pemikiran menarik, jika warna adalah hasil kesepakatan sosial dan merupakan adalah kesepakatan simbolik yang kita wariskan dan ulang tanpa banyak bertanya, maka ia juga rentan terhadap stereotipe. Kita sering mengatakan "merah berarti berani", "putih adalah suci", "hitam itu duka". Padahal, di tempat lain, hitam bisa berarti keanggunan, dan putih justru melambangkan kehilangan. Dunia kita dipenuhi oleh lapisan-lapisan makna yang diwariskan tanpa disadari, hingga akhirnya kita percaya bahwa simbol-simbol itu adalah kebenaran.

Umberto Eco pernah menulis tentang hiperrealitas, kondisi ketika manusia lebih mempercayai tiruan daripada kenyataan itu sendiri. Mungkin warna pun mengalami nasib serupa. Kita tidak lagi melihat merah sebagai getaran cahaya, tetapi sebagai ide tentang keberanian yang ditanamkan oleh iklan, bendera, dan sejarah. Warna menjadi bukan lagi tentang apa yang tampak, melainkan tentang apa yang diyakini. Kita hidup dalam dunia di mana kesepakatan menjadi kenyataan, dan kenyataan menjadi pantulan kesepakatan itu sendiri.

Namun, ada saat-saat ketika kesepakatan itu runtuh. Wittgenstein dalam Remarks on Colour (1950) menyatakan bahwa warna bukanlah objek, melainkan bentuk bahasa dan pengalaman. Kita tidak bisa menjelaskan warna tanpa menyentuh batas bahasa itu sendiri. Bagaimana kita menjelaskan "merah" pada seseorang yang tidak memiliki penglihatan sejak lahir? Bagaimana menjelaskan "merah" tanpa menunjuk api, atau "biru" tanpa memperlihatkan langit? Di titik itu, bahasa berhenti bekerja. Kita tiba di wilayah sunyi tempat warna kehilangan suara, dan persepsi menjadi sesuatu yang tak bisa diwariskan. Kita bisa membandingkan, memberi metafora, menyebut rasa hangat atau perasaan berdenyut, tetapi pada akhirnya kesepakatan itu runtuh di hadapan keterbatasan pengalaman. Di titik inilah filsafat bertemu dengan kemanusiaan, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dijembatani oleh kata, hanya bisa diresapi oleh keberadaan.

Di hadapan mereka yang buta sejak lahir, kita diingatkan bahwa seluruh "kesepakatan manusia" hanyalah jaring yang menutupi misteri besar, bahwa ada bentuk pengalaman yang tidak bisa diterjemahkan oleh kata-kata, bahkan oleh imajinasi. Bagi seseorang yang tuna netra sejak lahir, "warna" adalah konsep yang tak mungkin dijelaskan dengan kata-kata. Kita bisa bicara panjang lebar tentang spektrum cahaya atau perasaan hangat dari merah dan sejuk dari biru, tetapi semua itu tetap tak berarti dalam dunia pengalaman mereka. Di sini kita menemukan paradoks besar, bahwa ada batas di mana kesepakatan manusia berhenti bekerja. Dunia tidak sepenuhnya dapat dibentuk oleh konsensus, karena kesadaran manusia pun memiliki cakrawala yang berbeda-beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun