Kasus terbaru yang menyeret Wakil Menteri Ketenagakerjaan dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuka luka lama bangsa ini: korupsi bukan sekadar soal uang. Ia menyingkap rahasia gelap birokrasi kita---tentang bagaimana izin dan sertifikasi bisa "dipercepat" dengan jalur pintas, asal ada imbalan.
KPK menyebut dugaan pemerasan ini terkait pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Barang bukti, termasuk kendaraan mewah, telah diamankan. Jumlah pihak yang ditangkap pun signifikan---laporan media menyebut antara sepuluh hingga empat belas orang. Fakta ini menegaskan bahwa praktik jalur cepat bukanlah rumor, melainkan kenyataan yang kini sedang disidik secara hukum.
Korupsi Adalah Pengkhianatan
Pejabat yang menjual kewenangan untuk memperkaya diri, dan pengusaha yang memilih jalan pintas untuk mempercepat proses perizinan, sama-sama sedang melakukan pengkhianatan. Pengkhianatan bukan hanya terhadap hukum, melainkan juga terhadap bangsa dan rakyat. Mereka menukar amanah publik dengan keuntungan sesaat, seolah-olah nyawa buruh bisa dipertaruhkan di meja transaksi.
Sertifikasi K3: Nyawa Bukan Administrasi
Sertifikasi K3 bukan sekadar selembar dokumen administratif. Ia adalah benteng terakhir yang memastikan tempat kerja---pabrik, proyek konstruksi, pertambangan---aman bagi para pekerja.
Bayangkan bila sertifikasi bisa dibeli. Perusahaan bisa beroperasi tanpa benar-benar memenuhi standar keselamatan. Mesin tanpa proteksi, gedung tanpa jalur evakuasi, atau proyek tanpa alat pelindung memadai. Konsekuensinya? Risiko kecelakaan meningkat tajam, dan yang paling dirugikan adalah pekerja, tulang punggung ekonomi bangsa.
Korupsi dalam sertifikasi K3 berarti memperjualbelikan nyawa. Pekerja menjadi korban langsung dari keserakahan pejabat dan pengusaha yang abai terhadap keselamatan.
Kurangnya Transparansi Sebagai Celah Korupsi
Kasus ini juga menunjukkan satu hal: proses sertifikasi yang kurang transparan. Ketika prosedur tidak jelas bagi publik, ketika data tidak dibuka secara terbuka, celah korupsi terbentang lebar. Pejabat bisa memanfaatkan kewenangan untuk menawarkan "jalur cepat". Pengusaha yang memilih membayar memperkuat siklus tersebut.
Ketertutupan adalah pupuk bagi praktik korupsi. Sebaliknya, transparansi adalah obat.
Pemerintah Tidak Bisa Berdiam Diri
Penindakan KPK adalah pintu masuk, tetapi bukan akhir. Pemerintah tidak boleh sekadar menyerahkan kasus ini pada aparat penegak hukum lalu mencuci tangan. Ada tanggung jawab lebih besar: membongkar sistem yang memungkinkan praktik jalur cepat ini berulang.
Ada beberapa langkah yang dapat segera ditempuh:
Digitalisasi dan transparansi penuh dalam proses sertifikasi K3, sehingga semua tahapan bisa diaudit.
Publikasi data sertifikat K3 secara terbuka---nomor, perusahaan penerima, lembaga sertifikasi penerbit---agar publik dapat mengawasi.
Penghapusan kewenangan diskresi berlebihan, karena di sanalah peluang suap berakar.
Penegakan hukum yang konsisten: pejabat harus dihukum, pengusaha yang terlibat harus dicabut izinnya.
Seruan Moral
Kasus ini bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pengkhianatan terhadap bangsa dan nyawa pekerja. Negara yang membiarkan sertifikasi keselamatan diperdagangkan adalah negara yang gagal menjaga martabat rakyatnya.
Kita tidak boleh lagi menutup mata. Pekerja Indonesia berhak bekerja di lingkungan yang aman, bukan menjadi korban korupsi. Setiap sertifikat K3 yang dipalsukan oleh uang suap adalah potensi nyawa yang melayang.
Korupsi sertifikasi K3 harus dipandang bukan sekadar tindak pidana, tetapi dosa sosial yang merampas masa depan bangsa. Dan terhadap pengkhianatan semacam ini, tidak ada kata lain selain: lawan, bongkar, dan hentikan sekarang juga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI