Pekerjaan berlebih tanpa upah layak, agar pekerja menyerah dan mengundurkan diri "atas kemauan sendiri".
Pemindahan ke posisi di bawah staf, bahkan untuk level manajer, sebagai bentuk penghinaan sistematis.
Tekanan verbal dan sosial dari atasan agar pekerja merasa terisolasi.
Semua ini terjadi tanpa transparansi. Kalimat klasik "demi efisiensi" dijadikan tameng sakti, meski keuangan perusahaan tak pernah dibuka atau diaudit secara independen.
Perspektif Psikologi: Medan Trauma di Tempat Kerja
Kondisi ini memicu gangguan psikis serius. Menurut American Psychological Association (APA), korban bullying dan gaslighting di tempat kerja menunjukkan gejala serupa PTSD, kehilangan rasa percaya diri, insomnia, dan kecemasan sosial. Dalam jangka panjang, trauma yang tidak ditangani bisa merusak relasi personal dan menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.
"Toxic work environments don't just make you miserable --- they can make you physically ill," tulis Dr. Jeffrey Pfeffer dari Stanford dalam studinya tahun 2018.
Perspektif Hukum: Tak Hanya Ketenagakerjaan, Tapi Juga Perdata dan Pidana
Dalam hukum positif Indonesia, praktik semacam ini berpotensi melanggar beberapa aturan:
UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003: Pelanggaran terhadap hak kerja layak dan jaminan kepastian kerja.
UU Cipta Kerja dan PP 35 Tahun 2021: Pengaturan PHK yang tidak transparan dan manipulatif bertentangan dengan prinsip kejelasan alasan hukum PHK.
KUH Perdata Pasal 1365: "Setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian."
KUHP Pasal 335: Perbuatan tidak menyenangkan (intimidasi, pemaksaan, pemaksaan keputusan pribadi).