Normalisasi ketidakjujuran menggerogoti struktur sosial kita. Masyarakat yang terus-menerus dibohongi akan tumbuh dalam ketidakpercayaan. Relasi menjadi rapuh, kerja sama sulit dibangun, dan hukum kehilangan wibawa.
Di tengah kondisi seperti ini, tidak mengherankan jika korupsi merajalela, penegakan hukum tumpul, dan demokrasi melemah. Ketidakjujuran telah menular dan menjadi standar dalam berbagai sektor kehidupan.
Kejujuran dalam Akar Budaya Bangsa
Padahal, jika menengok ke dalam budaya kita sendiri, kejujuran pernah menjadi nilai luhur yang dijunjung tinggi. Dalam falsafah Minangkabau dikenal pepatah:
“Elok sabana elok, kato nan sabana kato”
(Indah yang benar-benar indah, adalah kata-kata yang benar-benar jujur.)
Begitu pula dalam budaya Jawa:
“Ajining diri saka lathi”
(Harga diri seseorang terletak pada lisannya—ucapannya mencerminkan kehormatan.)
Bahkan Buya Hamka, ulama dan sastrawan besar Indonesia, pernah mengingatkan:
“Lebih baik miskin harta daripada miskin kejujuran.”
Kata-kata ini bukan hanya nasihat, tapi peringatan: tanpa kejujuran, kita kehilangan arah sebagai bangsa.
Solusi: Mendidik Ulang Diri dan Sistem
Membangun budaya jujur tidak cukup dengan ceramah. Kita butuh sistem yang mendukung transparansi, menghargai proses, dan memberi sanksi tegas bagi kebohongan. Di rumah, orang tua harus kembali menjadi teladan: berani berkata jujur, sekalipun pahit. Di sekolah, kejujuran harus dipraktikkan, bukan hanya dihafalkan.
Media dan tokoh publik pun punya peran penting: membangun narasi bahwa jujur bukan bodoh, tapi berani.