Kloset sedang antri panjang
Setia menunggu, karena tak kungkin lagi beringsut
Habis sudah mulas perut setelah aku masuk
Sembari merutuk, kududuki juga kloset itu
Warna yang pudar berlumut
Meski asing terpaksa juga aku jajah
Ah, kembali ke asal mulasku
Muasal sengketa karena nurani yang  retak
Tak ada kata selain yang bikin mulas hari-hari
Biar kuikuti jejak sajak yang lalu
Menjajah kloset masa lalu yang cuma jadi kenang di musium peradaban
Tipu muslihat
Saling silang kata
Saling tuding tuduhan
Muka-muka yang aku tak kenal
Begitu gegap gempita saat aku duduk di masaku
Mulasku yang meronta sudah jadi ceceran sepanjang jalan
Bertanya kawan ia tak menjawab
Bertanya pada saudara ia lebih tak tahu
Tapi bendera warna-warni gagah di rumah-rumah mereka
Seakan-akan mereka tahu tapi tak mau menjawab tanyaku
Mungkin, mungkin juga
Di masa lampau yang kudapati dari ceceran cerita
Beginilah wajah mula kehancuran
Tak ada tangan tertaut apalagi muka yang sungguh jujur
Tiba-tiba aku ingin bercermin
Aku ingin lihat mukaku!
Oo betapa pancaran kebijakannya cemerlang
Oo betapa penuh kegembiraan
Melihatnya aku senang sungguh
Sesaat, Â sebelum topeng mukaku jatuh
Pecah, patah!
Hampir saja kumaki kesal
Saat kuangkat tanganku hendak menuding
Ternyata jariku terputus begitu saja oleh retakan cermin
Malu!
Malu!
Aku tertipu lebih
Kemanusiaan yang kukoarkan kencang-kencang
Ternyata tak ada di mukaku sendiri!
Jaman kacau, jaman edan! Rutukku
Mulasku benar hilang seketika
Kloset kusiram berkali-kali, kubilas dengan sabun pewangi tak henti-henti
Hmm, tak ada yang akan mencium lagi bau busukku!
Segera kubanting pintu toilet, hari begitu berat
Topeng harus kubeli segera! Bedakku tak cukup lama bertahan!