Terbujuk. Sungguh kali ini terbujuk. Untuk mencairkan batuan es. Membiarkannya mengalir, menguap lalu hilang ke langit. Ketika semua tak terhalang. Baru kusadari sekian lama yang kutatap cuma gumpalan yang kutahan untuk penjarakan aku sendiri. Alangkah pelangi memang banyak warna. Akhirnya aku melihatnya setelah sekian abad terkurung sendiri. Diseberang tampak kerindangan pepohonan, rumah,-rumah yang penuh kembang, burung-burung yang melompat dan bernyanyi, wajah-wajah berseri.Â
Kapan terakhir aku bersenandung? Dalam ingatan aku tak menemu waktunya. Aku lupa. Â Selama ini yang kukenal adalah sunyi dan dingin. Teman bicaraku adalah aku sendiri yang tak pernah bisa melihat cermin. Â Segala yang kulakukan hanyalah meninggikan batu es agar menjadi gunung, agar aku merasa aman didalamnya. Â Seperti terlahir kembali menyaksikan matahari terbit pada saat fajar dan kecantikan tenggelamnya saat senja tiba.
 Bolehkah aku menari mengikuti suara hati kali ini? Menarilah! Ada baiknya aku ajari langkah kakiku mengenal hentak ritme nada  agar ia belajar mengenal kembali. Uh, berapa lama aku terkurung dan siapa yang berseru untuk aku pecahkan bati-batu es tadi?. Mengapa aku lupa bertanya, siapa dia,? Siapa kamu? bisikku.Â
Tiba-tiba langit mengajarkanku membuat anak sungai di pipi. Terlalu lama hilang arah dan jauh dari jalan semestinya membuatku memahami kata; kembali. Ya, kembali pulang. Â Ke rumah yang selalu dalam ingatan tapi terkunci rapat . Sambil menari aku melompat, berlari, menari lagi, bernyanyi, melompat, berlari lagi. Alangkah senangnya wajahku ditampar angin beratus kali. Seperti senandung yang tak pernah kudengar sebelumnya. Â Menaiki bebukitan dan melewati lembah- lembah aku menuju rumah. Aku kegirangan. Pulang.