Sudah lama rasanya tidak pulang kampung ke rumah Suami. Karena letaknya di bawah Bukit Tidar dan dekat dengan Gunung Merapi, membuat kota kelahiran Suami udaranya nyaris dingin 24 jam. Beda sekali dengan udara Jabodetabek yang sangat panas menyengat dan polusi.
Tapi saat di perjalanan kesenangan kami di perjalanan tidak bertahan lama. Sekitar jam 1 pagi dini hari, 30 menit sebelum kami sampai ke rumah, tiba-tiba dapat kabar kalau Eyang meninggal dunia.Â
Deg! Innalillahiwainnailaihirojiun.
Rasanya ingin cepat sampai rumah, karena membayangkan Ibu mertua yang sendiri di rumah pasti kebingungan. Apalagi beliau memang tinggal hanya sama Eyang kebetulan. Maka dari itu kami datang menemani di lebaran kali ini. Tapi Allah berkata lain, kami memang menemani Ibu berduka.
Karena sudah belajar tata cara memandikan mayat, saya sebenarnya tahu harus menyiapkan apa saja saat itu. Tapi ini masih jam 2 pagi, toko pasti pada masih tutup dan kebetulan hari ini 1 Syawal. Di mana nanti pagi akan melangsungkan solat Idul Fitri.Â
Untung ada musola yang memberikan perlengkapan jenazah buat Eyang.
 "Ngagem niki rumiyin mawon"Â
"Mboten nopo-nopo sa'estu?"
"Inggih, mboten nopo-nopo. Menawi mboten ngaboti, saget diganti"
"Inggih, matur nuwun. Badhe mendet arto rumiyin"