Setahun yang lalu Guru Etos. Jansen Sinamo, memintaku membantu beliau menulis buku ini, The Chinese Ethos. Ajakan itu adalah kehormatan, tantangan tetapi juga kesenangan. Buku ini adalah buku kedua yang kami tulis bersama, setelah Teologia Kerja Modern dan Etos Kerja Kristiani, yang terbit 2011 lalu.
The Chinese Ethos dikerjakan lebih dari sembilan bulan --setelah sempat jeda ambil nafas tiga bulan. Pekan-pekan ini, buku ini sudah beredar di outlet Gramedia dan toko buku lainnya. Tetapi di kampung halamanku, Sarimatondang, tentu buku ini belum ada.
Diantara sejumlah pesan buku ini, terutama bagi pembaca di Indonesia, adalah ajakan untuk semakin membiasakan diri menerima dunia dimana China menjadi salah satu negara adidaya dengan pengaruhnya yang terasa dimana-mana.
Pada saat yang sama, mempelajari Etos Tionghoa bukan berarti keharusan menaklukkan diri padanya, melainkan memahami apa yang membuat bangsa yang telah berusia ribuan tahun itu --dengan diisi secara silih berganti oleh perang dan damai, perpecahan dan persatuan, menjajah dan dijajah, dimuliakan dan dihinakan-- mampu bertahan, menapaki tangga demi tangga hingga kini menjadi kekuatan dunia yang disegani.
Dengan memahami itu, kita di Indonesia dapat bercermin, karena dalam sejumlah pembicaraan para petinggi negeri ini, aku menangkap kesan, tersimpan juga cita-cita untuk mendaku Indonesia sebagai negara besar. Negara yang perekonomiananya akan jadi nomor tujuh atau delapan terakbar pada tahun 2030, negara yang telah mulai berani 'menguliahi' managing director IMF ketika berkunjung ke sini, dan negara yang kini kekuatan konsumsi domestiknya yang jadi motor penggerak pertumbuhannya, bukan lagi ekspor seperti dahulu.
China adalah cerita tentang persistensi (ketekunan dan kegigihan) dan kepercayaan diri sebagai Kerajaan Tengah, bangsa pilihan. Negara ini bukan hanya misterius, hemat dalam belanja dan juga kata-kata, tetapi juga dibangun dengan kesadaran bahwa penduduknya yang berjumlah miliaran itu, hanya dan harus kuat sebagai energi kolektif.
Dunia masih sering tidak rela menerima kehadirannya sebagai negara adidaya. China yang seakan tersembunyi itu selalu mengundang kecurigaan. Bangsa China tahu itu. Dan mereka tidak ingin memaksa dunia menerima mereka, sampai dunia HARUS menerima kenyataan itu.
Itulah, misalnya, yang kita saksikan di panggung tenis Australian Open beberapa pekan lalu. ketika petenis China, Li Na, mengejar bola sampai titik peluh penghabisan, dengan kaki diperban, terjatuh berkali-kali hingga dokter hampir menyarankannya berhenti bermain. Ia kemudian berhasil mencapai posisi runner up. Tetapi yang jauh lebih penting, ia sukses memenangi tepuk tangan bergemuruh dari para penonton bule di stadion itu. Ia telah menjadi juara di hati orang Australia dan mungkin miliaran penonton di rumah.
Kemarin, saya sampaikan satu eksemplar buku ini kepada seorang tokoh Batak. Saya katakan (mengutip info dari Bang Jansen), sebetulnya, kami berdua sebagai orang Batak yang dilahirkan dengan tradisi suku itu, pernah merencanakan menulis Etos Batak, tetapi yang lebih dulu mendapat sponsor ternyata adalah penulisan buku Etos China. "Etos tampaknya belum menjadi prioritas orang Batak," kata saya.
Beliau dengan serius menjawab, "Semoga dengan membaca Chinese Ethos, hati orang Batak tergugah."
Harapan kami tentu, bukan hanya hati orang Batak. Lebih dari itu, dengan membaca buku ini hati Indonesia juga lebih tergugah lagi. Sehingga Indonesia tidak hanya dibanggakan sebagai negeri nyiur melambai, negara yang penduduknya mempunyai senyum termanis di dunia, tetapi juga menjadi negara besar dengan etos kerja yang membanggakan.