Beberapa hari ini ada suatu pergumulan batin yang sedikit banyak "meresahkan" hati saya, yakni berupa sebuah pertanyaan sebagaimana saya tuliskan pada judul di atas : Apakah tindakanku ini sudah tepat?
Ini berkaitan dengan salah satu pesan penting yang telah saya dapatkan dari  pembelajaran mata kuliah minggu lalu yaitu mata kuliah : Teologi Perjanjian Lama dan bersinggungan juga dengan apa yang sedang saya pelajari dan ikuti minggu ini (matkul sedang berjalan) yaitu mata kuliah : Formasi Spiritual Pentakosta.
Salah satu Pelajaran penting yang saya dapatkan dari mata kuliah Teologi PL adalah tentang Torah yang mengajarkan bahwa iman tidak berhenti pada ibadah liturgis / ritual, tetapi harus diwujudkan dalam kasih, keadilan dan kepedulian sosial.Â
Pokok itu juga disinggung dalam mata kuliah Formasi Spiritual Pentakosta yang menekankan pengalaman spiritual bersama dengan Tuhan bukan sebatas dalam ibadah gerejawi tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam kepedulian kasih pada sesama. Â
Lalu apa yang menjadi dilema / pergumulan hati saya sehubungan dengan Pelajaran tersebut? Berikut saya akan menceriterakannya:
Minggu siang sekira pukul 10.30 Wib. Seusai kami ibadah Minggu umum, seorang bapak tua berumur 60'an Tahun datang ke gereja kami yang sekaligus juga sebagai tempat tinggal kami karena memang kami (saya, isteri dan seorang anak gantengku) tinggal di gereja dan gereja kami masih gereja rumahan, bukan Ruko, bukan juga Gedung Gereja.
Dengan mengenakan tongkat di tangannya dan menggendong satu tas kecil di punggungnya ditambah dua bungkusan kecil di tangan satunya, datang mau bertemu dengan pendeta Sianturi (maksudnya saya) sebagai pendeta di gereja GSJA Permata Depok (sesuai dengan banner yang terpasang di depan gereja kami), rupanya sudah ketiga kali ini dia datang ingin bertemu dengan saya dan dua kali kedatangannya sebelumnya belum bertemu saya karena sedang tidak di tempat dan dia dapat info tentang nama saya dari tetangga sebelah.
Saya menghampiri bapak tersebut dan mengajaknya mengobrol di tempat tetangga karena kebetulan di gereja masih ada ibadah anak sekolah minggu (seperti biasa selesai ibadah umum dilanjutkan ibadah anak-anak).
Singkatnya bapak tersebut memperkenalkan dirinya dan menceritakan latarbelakangnya serta kondisinya saat ini yang sedang dalam kesulitan, dan sangat membutuhkan pertolongan.
Bapak ini seorang Tionghoa dari Kalimantan, selama 17 tahun bekerja di sebuah pertambangan di Sulawesi, status tidak menikah dan karena mengalami kecelakaan mobil membuat kakinya cacat dan sudah tidak bekerja lagi.
Penghasilan selama bekerja telah habis untuk biaya pengobatan kakinya yang patah dan sekarang kondisi kaki tidak normal (mengecil dan Panjang kaki tidak rata alias timpang).Â
Tidak peduli sekeras apa bapak ini sudah berusaha mencari kerja tetapi tidak ada satu pun yang bersedia mempekerjakannya. (mungkin karena secara fisik sudah terlihat tua renta dan kakinyapun pincang).
Menurut ceritanya, dia berhasil menumpang kapal barang dari Sulawesi ke Jakarta dan sudah beberapa bulan ini ia luntang-lantung tidak punya tempat tinggal, tidur berpindah-pindah di stasiun-stasiun kereta dan saat ini di daerah Depok dan sudah dua kali diusir dan mendapatkan peringatan dari satpam stasiun Depok agar tidak tidur lagi di area peron.
Yang membuat hati saya semakin kasihan dan dada sesak seolah turut merasakan pergumulan hidup yang begitu berat dan kompleks yang dialaminya adalah ketika bapak ini menceritakan bahwa ia sudah menjadi orang percaya dan dibaptis (sebelumnya dia seorang Budis) beberapa bulan sebelum terjadinya kecelakaan.
Dia sudah mendatangi beberapa gereja besar yang ada di sekitar lingkungan gereja kami di kelurahan Depok ini (karena memang ada banyak gereja khususnya di kelurahan Depok) untuk meminta bantuan agar dia bisa diterima tinggal dan dpekerjakan sebagai koster atau tukang bersih-bersih gereja dan halaman gereja walaupun dengan gaji kecil agar dia bisa mengumpulkan uang untuk pulang kampung halamannya di Kalimantan Barat. Di sana dia masih punya seorang kakak Perempuan yang juga tidak menikah (melajang) namun dalam keadaan Struk sebelah badannya, dan masih ada rumah orang tuanya.
Sepanjang bapak ini bercerita tentang dirinya, saya bergumul dengan Tuhan dalam hati saya, bertanya tanya : apa yang harus saya lakukan dan bagaimana saya harus merespon atau menjawab bapak ini?
Apakah Tuhan sedang menguji saya dan menghendaki saya untuk menerima bapak tersebut untuk menampung dia tinggal dan mempekerjakannya sebagai bukti bahwa saya mempraktekkan apa yang sudah saya peajari dalam mata kuliah seminggu lalu tentang tindakan kasih, kepedulian sosial dan keadilan sebagai bagian integral dari ibadah kepada Tuhan.
Akhir cerita, dengan berat hati saya harus berkata Tidak kepada bapak tersebut. Namun tidak lupa juga saya mendoakan, kiranya Tuhan buka jalan lain untuk menolong bapak tersebut.
Ini bukan soal tega atau mentega, Â tetapi saya menjelaskan alasan utamanya adalah karena kami tidak punya tempat untuk bapak tersebut bisa tinggal di rumah yang sekaligus juga gereja kami.
Lebih detail lagi saya terus terang kasih tau bahwa rumah ini tidak memiliki satu kamarpun (kamar tidur). Tadinya memang ada dua kamar berjejer layaknya rumah petakan, namun untuk kepentingan agar bisa digunakan sebagai tempat ibadah, maka kedua kamar yang dulu ada itu telah kami jebol menjadi satu ruangan untuk ibadah.
Kami sendiri sebagai keluaraga pendeta atau gembala yang melayani harus rela tinggal di gereja ini mengguanakan sebagian ruang dapur hanya untuk meletakkan satu tempat tidur kecil dan beberapa lemari plastic sebagai tempat menaruh barang-barang pribadi dan sekaligus sebagai partisi ruangan pengganti "kamar".
Saya ingat satu ayat Alkitab berkata:
"Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya." (Ams 3:27)
Menurut saya ada dua kunci dalam ayat tersebut, pertama : orang-orang yang berhak; dan kedua : engkau mampu melakukannya.
Saya sadar bahwa bapak itu adalah salah satu orang yang berhak menerima kebaikan, tetapi apalah daya, memang saya merasa tidak mampu melakukannya, terlebih karena permintaannya adalah untuk tinggal "sementara waktu" di gereja.
Saya juga ada rasa kecewa kepada gereja-gereja besar (yang notabene memiliki ruangan-ruangan "nganggur") yang pernah didatangi bapak ini untuk permohonan yang sama untuk bisa tinggal tetapi tidak ada yang mau menerimanya dan menolongnya. Saya tidak berhak juga menyalahkan mereka, karena pasti mereka punya pertimbangannya masing-masing.
Hal ini masih menyisakan "debu kegalauan" di hati saya sampai saat ini. Bagaimana dengan sahabat semua, apa pendapatmu? Silahkan berikan komentarmu yang membangun di kolom komentar di bawah.
Terima Kasih telah membaca dan menyimak tulisan ini, Tuhan Yesus memberkati kita semuanya!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI